Perawan tua yang menggairahkan Hasrat Lelakiku

Namaku Bagus Hermanto. Kini aku berumur 25 thn. Aku mengenal seks sejak umur 18 thn. Diajari oleh Mbak Wiwik Widayanti, mahasiswi S2 yang kos di rumahku, di Yogya. Tentu saja secara bertahap, dari pegang-pegang sampai…, tahu sendirilah. Pokoknya butuh tempo sampai 2 bulan baru bisa merasakan hubungan seks tang sebenarnya, bersetubuh dengan Mbak Wiwik.
Setelah itu aku mencoba segala macam wanita, dari pelacur sampai wanita baik-baik. Rasanya sih, aku sudah mempunyai banyak pengalaman. Sudah mengerti semua. Cuma aku tidak pernah merasa kenyang, itu saja problemku.
Semua keyakinan diri itu akhirnya berubah ketika aku memperoleh kenikmatan hubungan badan dengan Mbak Indriani, seorang akuntan yang masih lajang dari suatu kota di Jateng yang pernah menjadi atasanku di tempat kerjaku di Jakarta.
Mbak In, memang tidak tergolong cantik seperti layaknya bintang sinetron. Umurnya 42 tahun. Kulitnya hitam manis, tingginya sekitar 160 cm, mempunyai bentuk badan yang langsing dan mempunyai payudara yang kecil namun indah menantang. Dulu rekan-rekan di kantorku, termasuk para wanitanya, secara sembunyi-sembunyi menyebut dia sebagai “si kulkas”. Soalnya dingin, pasif dan tidak hot. Pokoknya dia tidak masuk dalam daftar seleraku.
Tapi suatu hari di akhir tahun 1999, aku berjumpa lagi dengannya. Gara-garanya VW kodokku mogok di dekat rumahnya, sebuah paviliun di Kebayoran Baru itu. Saat itu hujan deras lama sekali. Aku menelepon taxi Blue Bird tapi tidak datang.
“Ya udah tunggu dulu aja, sambil ngobrol soalnya udah lama kita nggak ketemu”, katanya.
Mulanya kita ngobrol biasa. Taxi yang saya pesan belum juga datang. Padahal sudah jam 9 malam. Mbak In menawariku tidur di rumahnya saja, di sofa ruang tamu. Akupun setuju atas tawarannya, daripada repot, pikirku.
Lalu kami ngobrol ngalor-ngidul. Setelah makan malam, kami masih bercerita tentang banyak hal. Sampai akhirnya aku lancang nanya, “Kok Mbak tetep melajang sih?”.
Diapun cerita bahwa dirinya memang malas untuk menikah karena masih suka sendiri dan bebas. Buktinya dia bisa hidup tanpa pembantu. Semua dikerjakannya sendiri. Kecuali pakaian tertentu yang dilaundry.
“Wah serba swalayan ya”, kataku.
“Termasuk soal tertentu yang khusus juga”, katanya sambil ketawa.
Aku kaget juga. Yang dia maksudkan pasti seks. Soalnya setahuku dia tidak pernah berbicara tentang seks, makanya dia dijuluki si kulkas.
Jam 11 malam aku mulai mengantuk. Mbak In meminjamiku celana dalam dan kaos oblong (keduanya masih baru, berukuran XL, karena itu sebetulnya oleh-oleh dari Bali untuk temannya), dan memberikan sikat gigi baru serta handuk, lalu dia masuk ke kamarnya sendiri.
“Selamat beristirahat. Kalau butuh pengantar tidur nyalakan terus saja TV-nya, tapi jangan keras-keras. Kalo kamu mau baca-baca ya silakan aja, Gus”, katanya.
“Makasih Mbak, good night”, kataku.
Setelah mandi, aku sendirian di ruang tamu itu. Sudah menjadi kebiasaanku kalau mau tidur harus diiringi oleh musik kaset/CD, atau radio, kadang juga TV. Lalu me-ngeset timer-nya sekitar satu jam sampai akhirnya aku tertidur. Tapi malam itu aku susah sekali untuk tidur. Mau membaca tapi mataku lelah sekali. Akhirnya akupun menyalakan TV, tapi acaranya jelek-jelek.
Akhirnya iseng-iseng aku dekati rak audio-video. Aku periksa ternyata CD playernya berisi tiga keping. Karena remang-remang aku tidak tahu itu CD audio atau VCD. Aku kembali ke sofa. Remote control compo dan TV aku bawa. Setelah aku klik remote-nya barulah ketahuan kalau isinya VCD. Lantas aku putar, lalu muncul opening scene.
Aduh!, Ternyata isinya BF, Judulnya aku lupa, tapi isinya berupa kumpulan adegan klimaks, jadi bukan cerita utuh. Asyik juga…, isinya cuplikan dari banyak film. Pembukaan pertama oral seks sampai air maninya keluar. Aku belum tegang, masih tetap tenang. Adegan berikutnya mirip, begitu seterusnya, hingga adegan penis dimasukkan sampai dicabut waktu air maninya mau kaluar. Aku juga belum ereksi, hal ini di sebabkan karena aku sudah lelah dan mengantuk. Lagipula menonton VCD porno sudah sering kulakukan. Jadinya agak kebal juga.
Nah, potongan terakhir VCD itu dahsyat juga, sehingga membuat penisku menggeliat. Adegan 69. Yang banyak disorot bukan felatio (cewek mengisap cowok), tetapi cunnilingus (cowok mengisap vagina cewek). Aku sampai ereksi menyaksikan adegan tersebut, sehingga adegan itu ada yang aku ulangi sampai beberapa kali. Aku ingin menikmati sampai puas sebelum si cowok di layar TV itu orgasme, sementara aku sendiri berharap bisa orgasme bersamaan dengan gambar di layar tersebut, karena aku mengelus-elus penisku sendiri. Aku perhatikan cara si cowok melayani si cewek. Hebat juga sampai ceweknya mennjerit-jerit.
Ketika adegan berganti, si cewek mengocok penis cowoknya sembari mengisap, mendadak ada tawa kecil di belakangku. Aku kaget, malu dan salah tingkah karena Mbak In sudah berada di belakangku. Yang bisa kulakukan saat itu cuma mematikan TV-nya, bukan VCD playernya. Lalu aku diam dan menunduk. Tapi Mbak In memegang pundakku dan berkata, “Kamu suka juga ya rupanya. Nggak apa-apa sih kan udah dewasa”.
Aku senyum, dan tidak berani melihat mukanya.
“Gus”, katanya, “Kamu udah sering gitu juga kan? Aku tahu kalo beberapa cewek di kantor kita dulu ada yang pernah kamu kencani…”.
Aku menatapnya. Mbak In ternyata cuma memakai lingerie satin putih tipis, berupa rok dalam pendek tanpa lengan dan celana dari bahan dan warna serupa.
“Kenapa tuh kolormu, kok ada yang berdiri?”.
Ah…, aku makin salah tingkah. Aku tersipu, karena penisku masih tegak.
“mm…, aku…, aku…, aku…, Mbak”, cuma itu yang bisa kuucapkan, sembari aku bangkit dari posisiku yang tadi tiduran di atas sofa.
Kemudian Mbak In duduk di sebelahku. “Aku tadi sempet tertidur sebentar. Tapi gara-gara petir aku terbangun, dan nggak bisa tidur lagi”, katanya.
“Lantas aku dengar suara TV masih nyala. Tapi suaranya kok ah.., uh.., ah.., uh. Aku buka pintu pelan. Kamu nggak tahu ya?”.
“Ya Mbak”, kataku.
Kali ini aku sudah mulai tenang. Pantas saja aku tidak tahu kalau dia keluar dari kamar, pikirku. Soalnya kamarnya gelap, jadi waktu pintu dibuka tidak ada cahaya yang menerobos keluar.
“Aku liat diam-diam, ternyata kamu lagi asyik ngeliat itu ya. Aku liat tadi di adegan berikutnya kamu mengulang-ulang adegan, dan tanganmu meraba-raba celanamu…”.
“Ya Mbak”, cuma itu yang aku ucapkan.
“Yuk, putar lagi”, ajaknya.
“Nggak ah, malu”, balasku.
“Nggak apa-apa, Gus” katanya, lalu mengambil remote dari tanganku. TV menyala lagi. Lantas dia mengambil remote compo, dan memutar CD kedua.
“Tuh liat”, katanya.
Judulnya “Modern Kamasutra”. Isinya tidak ganas. Serba lembut…, tidak ada close up penis masuk vagina, tidak ada close up ejakulasi mengenai payudara.
Selama 15 menit kami menikmati CD itu dengan diam, sampai kemudian Mbak In berbisik, “Ajarin aku dong Gus. Aku kan nggak pernah”, katanya sambil memelukku.
Aku cuma bergumam, “mm…”.
“Keluarin semua ilmumu dan pengalamanmu…, Gus…”.
“Kok gitu sih Mbak?”.
“Iya dong…, Kamu ajarin aku dong…”.
“Emang Mbak nggak berpengalaman?”.
“Sttttt…, kamu kayak nggak tahu aja. Aku ini masih perawan, makanya sering disindir sebagai perawan tua. Aku juga tahu julukan si kulkas, Gus”, kali ini dia semakin merapat.
“Ajarin aku supaya nggak jadi perawan tua lagi. Ajarin aku biar aku jadi wanita yang lengkap, pernah merasakan nikmatnya pria tanpa harus bersuami dan tanpa harus punya anak, Gus…, Biar lajang tapi matang, gitu Gus”.
Aku terdiam tidak yahu harus berbuat apa, aku melihat ke layar TV. Ah…, adegannya indah sekaligus gila. Mulanya 69, dan pakai close up tapi gambarnya tetap soft, seperti memakai filter. Lantas si pria memasukkan penisnya dari belakang. Lalu 69 lagi. Lalu si cewek berada di atas. Sebentar saja dia sudah meloncat, duduk di muka si cowok, minta dioral, lalu menindih lagi, duduk lagi, menindih lagi, duduk lagi, menindih lagi, entah berapa kali, sampai akhirnya orgasme. Ketika si cowok berdiri, si cewek mengisap dan mengocoknya. Aku tegang sekali, terangsang oleh adegan di layar.
“Ajarin aku sayang. Tunjukin kebisaanmu yang telah membuat cewek-cewek di kantor kita ketagihan…”. Tangannya memegang kedua pipiku, “Please…”.
Entah kenapa aku seperti terhipnotis. Aku peluk dia, kucium pipinya, lalu keningnya. “Ya Mbak. Tapi aku lagi capek, setelah main squash tadi, jadi mungkin nggak memuaskan Mbak”.
“Aku nggak minta macam-macam. Cuma diajari. Semacam apresiasi, gitulah…”.
“Ya Mbak. Tapi VCD dan TV-nya dimatiin ya”, pintaku.
Mbak In mencubit pipiku, lalu mencium kedua pipiku. “Boleh…”.
“Mbak In pingin yang gimana sih?”.
“Terserah. Pokoknya kamu harus membimbingku, ngajarin aku…, Aku sendiri nggak tahu apakah malam ini akan melepas keperawananku, tapi yang jelas aku pingin dapet sebuah pengalaman yang penting bagi seorang wanita dewasa, yang berumur 40 lebih…”.
Aku terharu, merasa kasihan. Wanita pendiam dan dingin bagai kulkas ini ternyata menginginkan pengalaman erotis. Wanita yang tidak pernah bicara jorok dan cerita humor porno ini (tidak seperti cewek lain di kantornya) ternyata menginginkan sesuatu.
“Ayo Gus. Ajarin aku, bimbing aku…, Kasih tau aku harus gimana saja. Kamu kan lelaki sejati. Kamu udah punya jam terbang banyak. Tunjukin itu…”.
“Ya, Mbak”, kataku seraya mencium keningnya. Mbak In memejamkan mata. Kurasakan hangat tubuhnya.
“Katakan apa yang harus aku lakukan untuk mendapatkan pengalaman pertama yang indah, Gus. Lengkapi diriku sebagai seorang perempuan yang dewasa…”.
Aku mengangguk lalu memeluknya, dan mengelus rambutnya yang sekarang dipotong pendek itu. Aku merasa kelelakianku ditantang dengan halus. Inilah kelebihan wanita. Masih perawanpun tahu bagaimana caranya menggerakkan hasrat pria.
TV sudah mati. Aku berdiri, menghampiri rak audio. Di dekatnya kutemukan CD Romantic Night, musik instrumental lembut. Itu yang aku putar. Lalu aku kembali ke sofa menghampiri Mbak In.
“Mbak”, bisikku.
“mm…, beri aku pengalaman, Gus. Matangkan aku. Jangan mempermalukan aku. Aku telanjur ngomong ini. Aku belum pernah minta beginian pada laki-laki. Aku memilih kamu soalnya aku percaya sama kamu. Kamu dulu karyawan yang nggak reseh, bukan trouble maker, dan gentleman. Aku tahu kamu telah meniduri beberapa cewek di kantor kita, tapi kamu nggak pernah mengumbar affairmu. Kenapa aku bisa tahu, yah tahu sendiri…, mayoritas kantor kita kan cewek, dalam 15 wanita cuma ada 1 pria”.
Aku merasa percaya diri. Aku peluk Mbak In erat.
“Apa yang harus aku lakukan, Gus? mm ya, mestinya apa yang harus kamu lakukan? mm, maksudku apa yang akan kamu lakukan…, mm kok pake nanya. Mestinya tinggal dijalanin ya…, mm…, mm Gus…”, kali ini dia seperti kebingungan mau berkata apa. Kukecup keningnya.
“Mbak pingin merasakan sesuatu yang indah? Mbak sendiri punya fantasi apa sih?”.
“Banyak. Tapi aku malu ngomonginnya. Terserah kamu dah”, katanya sedikit bermanja. Aneh juga, aku merasa senang dimanja oleh perempuan yang lebih tua. Yah inilah kelebihan wanita, yang bisa membuat lelaki merasa berharga dan dibutuhkan.
“Aku ini menarik nggak sih Gus?”.
Aku mengangguk. Lalu kubisiki, “Lebih menarik dan indah kalo sekarang Mbak pake lipstik dan parfum dikit…”.
Dia segera berdiri, mencubit pipiku, lalu ke kamar. Tidak lama kemudian dia memanggil, “Sini Gus…”.
Aku masuk ke kamar. Dia sedang duduk di meja rias. Aku memeluknya dari belakang. Bau wangi menyergap pelan ke hidungku. Bibirnya sudah terolesi lipstik. “Cakep Mbak”. kataku.
“Bener?”, jawabnya manja.
Mbak In berdiri. Aku kemudian duduk di belakangnya. Di muka cermin berlampu itu aku dapati Mbak In dengan pesona kewanitaan yang bertambah. Seorang wanita berumur 42 thn yang matang. Ajaib juga, aku bisa tertarik malam ini. Tanganku memeluk pinggangnya dari belakang.
“Gini ini ya yang dilakukan para istri?”.
“Aku nggak tahu. Aku belum beristri, dan nggak pernah main dengan istri orang”.
Kemudian aku berdiri, tetap di belakangnya, dan tangan tetap memeluk pinggangnya. Aku cium lembut pipinya dari belakang. Lalu bibirnya, pelan dan lembut, dengan gesekan mengambang.
“Aku belum pernah dicium cowok Gus”, bisiknya.
“Ouhh…”, lenguhnya. Aku melihat ke cermin. Dia juga. Wajahnya tersipu.
“Merem saja Mbak”, kataku. Dia menurut. Tanganku tetap di pinggang. Kuamati dari cermin, matanya terpejam. Lalu kucium lembut lehernya.
“Ihh…”, cuma itu suaranya.
Lantas kucium telinganya. Ah ya…, inilah kelebihan wanita, meskipun dia masih perawan nalurinya tahu bagaimana memancing syahwat lawan jenis. Bagian belakang telinganya itu sudah wangi. Aku merasa nikmat. Lalu kucium lehernya, telinga lagi, leher lagi, pipi, bibir, telinga, leher, dan akhirnya tengkuk.
Tangan kiriku tetap memeluk pinggang dari belakang. Tangan kananku naik ke pusar. Dari cermin kulihat puting Mbak In mulai mengeras, menembus lingerie satin yang di kenakannya.
“Nah gitu dong ngajarinnya, Gus”, bisiknya.
Dari cermin berlampu itu kulihat pancaran kewanitannya terus bertambah. Aku tidak menyadari si kulkas ini ternyata memikat. Pagutan ke bibir, leher, telinga dan tengkuk mulai kulancarkan. Tubuh Mbak In mulai bergetar. Dia tetap terpejam. Dengan pelan seolah tak sengaja aku raba puting kirinya. “Uhh”, dengusnya. Kurasakan debar jantungnya meningkat. Lantas hidungku dan mulutku mulai mengecup bahunya yang terbuka, karena baju atas lingerienya itu cuma bergantung pada tali. Dia menggeliat.
“Geli tapi nikmat. Kamu pinter Gus”, bisiknya, tetap terpejam.
Kini kedua tangannya memegangi tanganku. Matanya masih terpejam. Kutatap sosok wanita ini dari cermin berlampu (hanya itu yang menyala di kamar, karena lampu lain mati). Kudapati sesuatu yang selama ini, selama mengenalnya, tidak pernah kuperhatikan. Aku kan sudah bilang, Mbak In bukan tipe yang masuk daftar seleraku.
Kini kudapati sesuatu. Mbak In ternyata menarik, punya pesona kewanitaan yang kuat. Kulitnya tidak putih tapi bersih. Tubuhnya langsing, tapi tidak bisa disebut kerempeng. Lekuk tubuhnya masih terlihat dan terasa. Mukanya bersih, tanpa bekas jarawat. Garis matanya memanjang seperti wayang. Alisnya tebal merata. Bibirnya mungil. Bau nafasnya nikmat.
Oh…, apakah yang berubah pada diriku? Kenapa tiba-tiba aku bisa menikmati dan menghargai pesona kewanitaan Mbak In? Karena terangsang, toh dari tadi aku ereksi? Bukan juga. Aku sudah sering bermain dengan wanita. Semuanya kuawali dengan keterpesonaan, terlepas wanita itu cantik sekali atau sedang-sedang saja. Yang pasti sejak aku kenal Mbak Wiwik, yang merenggut keperjakaanku saat aku remaja, seleraku hanya seputar itu, wanita berkulit putih, dengan buah dada besar. Tapi Mbak In? Ah, aku tidak tahu. Aku seperti merasakan pengalaman baru.
Tangan Mbak In masih memegangi tanganku. Sekarang matanya terbuka. Dia tersenyum. Aku kecup bibirnya, lembut lalu pipinya, telinganya, tengkuknya.
“Apa lagi sekarang, Gus?”, bisiknya.
Kulepaskan pegangan tangannya lalu kutuntun untuk melingkarkan tangan kanannya ke belakang, ke leherku, karena aku kan berdiri di belakangnya. Kucium lehernya…, Kurasakan debar jantungnya, dan bunyi nafasnya yang mengeras…, sepertinya dia bernafas dengan mulut. Lantas aku beralih ke bahunya yang terbuka. Kuangkat tangan kirinya untuk memegangi tengkuknya sendiri.
Saat kutatap cermin, kulihat sesuatu yang luar biasa. Bulu ketiak Mbak In ternyata lebat sekali. Aku terkesiap. Wow!, seperti tak percaya melihat bulu hitam rimbun itu menghiasi bagian bawah lengannya. Kuangkat tangan kanannya. Sama lebatnya. Wow! Ajaib! Aku belum pernah melihat ketiak selebat itu. Lagi pula aku selama ini memang tidak tertarik dengan ketiak yang berbulu, terkesan jorok dan tidak feminin. Tapi kali ini? Wuahh…, kurasakan debar di dadaku, kurasakan aliran darahku meningkat. Berubahkah aku?
Ya! Ketiak lebat ternyata memikat. Suatu hal yang selama ini membuatku risih ternyata merangsang. Dengan pelan aku raba kedua ketiak itu.
“Nggak pernah dicukur ya Mbak?”, Mbak In menggeleng dengan tersenyum.
“Biarin. Entah kenapa aku nggak merasa terganggu. Kamu tahu, dulu di asrama, waktu masih kuliah, aku dijuluki Ratu Ketiak. Karena sejak tahun kedua kuliah aku nggak mencukurnya. Buatku ini bukti kebebasanku, bukti ketidakpedulianku pada apa yang menurut orang lain pantas..”.
Lalu kucium ketiak berbulu itu. Wow! Fantastik! Bau asli tubuh bersih menyergap hidungku, karena wanita yang mengerti tentang parfum memang tidak pernah memberi parfum di ketiaknya, kecuali deodorant. Bau ketiak wanita (asal tidak kelewat keras), itu yang aku sukai dari cewek-cewek yang kukencani selama ini. Kali ini bau alami itu bertambah dengan bulu lebat,sepanjang hampir 5-6 cm. Pantas dulu disebut Ratu Ketiak.
Dari ketiak kanan aku pindah ke ketiak kiri. Sama aroma dan sensasi bulunya dengan yang kanan. Aku terangsang sekali. Ukuran terangsang bukan cuma soal ereksi seberapa keras dan panjang, tapi juga gelora di dalam diri. Sejak tadi aku ereksi, tapi yang sekarang makin ditambah peningkatan nafsu. (Nah para cewek, pahamilah itu…)
Dengan hidung dan mulut di ketiak kirinya, kedua tanganku meraba kedua puting susunya. Keras sekali. Aku pegang lembut payudaranya yang kecil itu. Kenyal sekali. Ini sensasi baru buatku, karena aku tidak pernah tertarik dengan payudara kecil. Aku tidak bisa ereksi oleh payudara mungil. Bila berkencan dengan perempuan aku selalu memilih yang mempunyai payudara besar, ukuran 34 keatas (beberapa kali aku dapat yang ukuran 38C). Payudara Mbak In sepertinya di bawah 34. Tapi kok merangsang ya? Nafsuku semakin berkobar. Ibarat bendera, mulai berkibar-kibar. Hanya gara-gara bulu ketiak dan payudara kecil (suatu hal yang belum pernah terjadi).
Akhirnya baju atas lingerie itu kulepas. Dan wow! Kudapati payudara kecil yang kencang, dengan puting mengeras. Puting itu berwarna gelap, tapi begitu merangsang bagiku. Aku selama ini mengencani wanita berkulit putih, termasuk bule, sehingga puting mereka berwarna terang, kalau bule malah kemerahan.
Aku remes pelan kedua payudaranya. Mbak In cuma ah-uh-ah-uh. Kuciumi lehernya, tengkuknya, telinganya, bahunya, dan ketiaknya, sambil mempermainkan puting dan payudaranya.
Lalu aku duduk di kursi dekat meja rias. Aku ciumi puting dan payudaranya, dan kemudian aku kecup puting itu sehingga makin mengeras. Kudengar pinggul Mbak In berkeletek, berbunyi tanda kontraksi otot saat wanita mulai disulut birahi.
“Mbak, aku terangsang. Aku suka ketek dan bulu Mbak, tetek dan puting Mbak..”.
Mbak In tersenyum. “Ajarin lagi aku sesuatu yang baru”, katanya.
Kupandangi tubuh kencang yang sekarang tinggal bercelana dalam satin tipis. Baru aku sadar, di bawah pusarnya tampak segitiga menggelap. Itu pasti bulu vagina. Aneh, aku jadi penasaran, ingin segera melihatnya. Padahal selama ini aku tidak suka melihat bulu vagina yang lebat. Pernah waktu di panti pajit nafsuku jadi mengendor karena si cewek mempunyai bulu vagina yang lebat. Si cewek panti pijat sempat tersinggung, karena nafsuku jadi merosot gara-gara bulu vaginanya yang lebat. Akhirnya aku cuma meminta si pemijat untuk mengocok penisku, sembari aku membayangkan salah satu cewekku yang bulu vaginanya super tipis, hingga aku ejakulasi di payudara pemijat itu.
Aku selama ini memang risih dengan bulu lebat. Dalam pandanganku jorok, tidak sehat, cuma menimbulkan bau dan penyakit. Tapi kali ini begitu bernafsu ingin tahu, Mbak In rupanya tahu.
“Kamu pingin liat lainnya yang lebat ya? Boleh..”.
Aku menggeleng. Dia mengerutkan kening. Aku tersenyum, “Entar Mbak..”.
Yang kulakukan sekarang adalah menciumi pusarnya lalu turun ke bawah, tanpa membuka celana lingerienya, sampai kurasakan bulu tebal tergesek satin dan hidungku.
Setelah itu kusisipkan jariku ke celananya. Kurasakan ketebalan bulu vaginanya yang lebat. Jariku seperti buta sejenak, tidak tahu kemana harus meraba clitoris dan labia majoranya.
Oh, jadi inilah pesona bulu vagina yang tebal, bisa menyembunyikan vulva. Cewek-cewek yang pernah kukencani berbulu vagina tipis, malah ada yang cuma beberapa lembar, sehingga begitu mengangkang sedikit saja, vulvanya langsung terlihat jelas. Dan itulah yang aku sukai. Itu yang membuatku ereksi. Bau khas vaginanya juga mulai menyergap hidungku. Aku kian terangsang.
Akhirnya jemariku mulai mengenal medan. Tahu mana yang clitoris, mana yang labia majora, mana yang labia minora. Lebih dari itu, jemariku basah sekali, seolah baru saja terendam di mangkok. Lingerie itupun basah, sehingga semakin menempel ke vulva, dan bulu lebat itu makin kentara. Pinggul Mbak In terus berkeletekan, kontraksi karena terangsang.
“Kamu terlalu, Gus. Terlalu…, Ayo buka celanaku”, katanya.
Dipeganginya kepalaku, dijambaknya rambutku yang gondrong, lalu digesek-gesekkan ke lingerie yang basah kuyup dengan aroma yang kian kentara itu.
“Aku terangsang Gus..”.
Tiba-tiba dia mundur, menjauhkan kepalaku. Tak terasa aku sudah berlutut sejak tadi rupanya. Dengan cepat dia melepas sisa lingerie-nya, dan mencampakkannya ke lantai berkarpet. Wow! Luar biasa, bulu lebat membentuk segitiga seperti celana dalam. Lalu aku naikkan kaki kanannya ke kursi rias. Wah! Luar biasa. Kelebatan bulu vaginanya menutupi vulva. Aku sibak bulu vaginanya, lalu tampaklah vulva yang berwarna gelap, kecoklatan, bukan kemerahan, bukan coklat muda. Aneh! Aku kok bisa terangsang. Padahal kalau melihat gambar porno perek melayu yang berkulit hitam, meskipun payudaranya besar, toh vulvanya gelap. Dan itu menjijikkanku. Tapi kali ini aku terkesima. Aku sibak dan belai bulu vaginanya yang sedikit basah. Begitu pula vulvanya. Vulva seorang perawan matang yang mengkilap.
Aku terus memandanginya. Kutunda sekuat tenaga untuk tidak segera mengecup dan menjilatinya. Karena aku ingin menikmati pengalaman baruku secara bertahap dengan pelan. Dengan jempol kuraba clitorisnya yang menyembul keras dan gelap itu.
“Auwwwwww…”, Mbak In bersuara.
Astaga! Jadi inilah clitoris si Mbak. Coklat tua, ada merah tuanya. Besar juga clit-nya. Aku putar pakai jempol.
“Ihh…, gila kamu Gus!”.
Lalu jari telunjuk dan jari tengahku menjepit clitnya dan memutar-mutarkannya.
“Gila…, ghuillaa…, waohh”, desahnya.
Nafasku mulai memburu. Mbak In juga. Aku ambil break sejenak. Mundur, duduk, kaki selonjor di lantai, kedua tanganku di lantai menyangga badan. Saat dia akan menurunkan satu kakinya, aku bilang, “Jangan dulu Mbak…”
Kuamati tubuh di depanku itu. Barulah kusadari pancaran kewanitaannya. Tubuh Mbak In memang kencang. Dalam umur 42 masih bagus badannya, karena masih perawan, belum pernah melahirkan. Lebih dari itu dia memang rajin senam dan fitness, begitupun renang. Sempat terbayang bagaimana ketiaknya terlihat kalau dia senam dan renang. Tubuh langsing padat, payudara kecil kencang, bulu vagina lebat merambat.
“Mbak aku pingin liat ketiak Mbak lagi..”, pintaku.
Dia mengangkat kedua lengannya. Bayangkan. Satu kaki di kursi, kedua lengan terangkat, dada busung tegak. Oh indahnya. Oh wanita dewasa. Oh wanita matang. Oh wanita lajang. Oh wanita perindu kehangatan lelaki. Oh wanita matang lajang kesepian yang hanya berfantasi setiap hari sambil mendidihkan birahi untuk dirinya sendiri.
“Apa lagi sekarang Gus?”.
“Mbak aku mau liat vulva Mbak..”.
“Boleh. Nih liat..”.
Wow! Tangan kanannya turun, lantas jemarinya merentang labia majora. Merah tua menggelap, tapi bagian dalamnya merah menyala. Begitu basah dan berkilau. Lendir yang encer terlihat jelas.
Sesaat aku menikmati pemandangan yang belum pernah kualami itu. Tangan kanan menyibak vulva, lengan kiri terangkat memamerkan ketiak lebat.
“Mbak jilat sendiri Mbak..”.
Ah, dia mau melakukannya. Jemari itu dijilatinya, lalu digesekkan lagi ke vulva, jilat lagi, beberapa kali. Aku tidak tahan, lalu berdiri. Penisku kian mengeras, sehingga celana dalamku seperti menyimpan senjata. Ada setitik basahan di situ. Itu tetesan pertama maniku. Aku menghela nafas. Lalu melepas kaos.
“Tunjukin dong penismu” kata Mbak In, lalu duduk di kursi rias itu. Aku mendekat.
“Badanmu bagus, Gus. Atletis”.
Aku bersyukur, mempunyai tinggi 175 cm dengan berat 75, dan otot yang masih kencang.
Lalu dia meraba celanaku, lalu tonjolan penisku. Kemudian memelorotkan celanaku. Tuinggg! Begitu celana dalamku merosot, maka batang penisku turun, tertarik ke bawah sesaat, untuk kemudian tegak mendongak. Dia memandangi penisku.
“Pegang Mbak”, kataku.
Mbak In nggak langsung menggenggam. Tapi merentang jempol dan kelingkingnya seperti mengukur panjang.
“Kayak pisang”, katanya.
Lantas jempol dan telunjuknya melingkari pucuk penisku. Jarinya lentik, kukunya panjang terawat. Sexy juga ternyata. Kemudian dia menggenggamnya, tidak terlalu keras, sesaat saja, lalu dilepas.
“Hangat ya..”, bisiknya mesra.
Kami sama-sama mengambil nafas. Aku menjauh sedikit. Baru sekarang terasa dinginnya AC kamar. Tapi aku tidak mau terburu-buru. Aku ingin mengulur tempo dan menikmatinya lebih lama, soalnya kan lagi ngajarin Mbak In.
“Ke sofa lagi yuk Mbak”, ajakku. Dia tersenyum. Lalu aku gandeng. Kami duduk berdua. Berhadapan. Aku cium bibirnya, dan kemudian matanya.
“Haus Mbak”, bisikku.
“Iya Gus…, tenggorokanku juga kering”.
Mbak In berjalan menuju kulkas, mengambil orange juice kemasan botol. Kami minum bergantian dari botol yang sama. Lalu bersandar ke sofa, sama-sama diam. Tidak terasa sudah satu setengah jam lebih berlalu sejak acara pembukaan di cermin rias tadi. Nafasku kembali normal. Tapi penisku kembali mengendur, memang begitulah alam mengaturnya.
“Kok jadi kecil lagi?”.
Aku tersenyum, “Memang gitu Mbak. Entar gede lagi. Mbak juga mengecil lagi klitnya pasti. Cairan vagina juga berhenti ngalir kan?”. Dia mencium pipiku.
“Sini Mbak”, kataku.
“Gimana lagi?”, dia keheranan.
Dia kuminta untuk berdiri, kemudian aku dudukkan di pangkuanku. Tangan kananku menyangga punggungnya, tangan kiriku menyangga kakinya. Seperti membopong sambil duduk. Kami berciuman. Lipstiknya mulai menipis.
“Apa sih yang kamu sukai dari tubuhku Gus?”. Aku menjawab dengan menciumi lehernya.
“Geli, nikmat, ahh..”.
Kemudian dia kubalikkan, menghadap ke depan, tetap dalam pangkuanku di sofa. Aku pegang payudaranya. Aku mainkan puting susunya.
“Ternyata Mbak In itu hangat ya?”.
“Bukan kulkas, gitu?”.
“Iya. Mbak juga penuh pesona kewanitaan”.
“Bener?”.
“Mbak ternyata punya nafsu..”.
“Iya dong”, ia berbisik.
“Mbak suka masturbasi juga?”.
“Iya dong. Seminggu sekali, bisa dua kali, pernah tiga kali. Aku tahu masturbasi sejak umur 20, dulu sih 3 minggu sekali. Akhirnya mulai umur 30 gairahku malah bertambah. Kadang aku bayangin temen-temen cewek itu, udah kenal penis umur 20, sampai sekarang udah bersetubuh berapa kali coba? Sementara aku cuma bisa masturbasi”.
“Mbak mau dimasturbasi nggak?”. Dia mengangguk.
Lalu kakinya kukangkangkan, dengan posisi tetap jongkok di pangkuanku. Aku ajak dia bekerja sama, jemari dan telapak tanganku untuk memainkan vulvanya, tapi yang menggerakkan tanganku adalah tangannya. Luar biasa. Aku jadi tahu bagaimana si Mbak memburu nikmat. Mulanya memainkan clit. Lantas labia majora. Mulanya gerakannya pelan. Akhirnya kencang, maju-mundur, berputar-putar, sampai tanganku pegal.
Lima belas menit berlalu, si Mbak sudah mendesis-desis, sampai akhirnya tubuhnya mengejang sejenak. Kuambil telapakku, aku ciumi dengan hidung dan mulut. Basah penuh aroma.
Mbak pingin apa sekarang?”.
“Ouhh…, pake nanya. Terserah..”.
Dia kuberdirikan. Aku berlutut di depannya. Aku cium paha kanannya, lalu kiri, lalu kanan, lalu pusarnya. Dia cuma ah-uh-ah-uh saja. Aku ulangi terus, kira-kira lima menit lamanya.
Akhirnya dia tidak sabar lagi. Kepalaku ditarik olehnya, lalu mukaku ditempelkan ke bulu vaginanya. Aku cuma menggesek-gesek hidung di rumput lebat itu. Lantas dia mengangkat satu kakinya di sofa, kaki yang lain tetap berdiri menyangga tubuhnya di lantai. Dengan pelan aku gesekkan hidungku ke clit-nya, lalu labia majoranya. Aku merasakan vulva-nya yang kian basah itu. Aku bisa merasakan bahwa bertambah basahnya vulva Mbak In bukan karena saliva-ku, akan tetapi terlebih karena dari lubang vagina itu memang membanjir cairan encer. Begitu banyak cairan yang merembes, sehingga aku bisa menghirup sambil menyedotnya. Slurping, kata orang bule…, Segar juga. Mungkin inilah jamunya seorang pria, cairan vagina wanita lajang yang masih virgin.
Mbak In tidak kuat dengan perlakuanku, kakinya sampai gemeter, lalu dia duduk di sofa. Kepalaku menyeruak masuk. Kedua pahanya kuangkat pakai tangan. Kini dia duduk bertambah maju sedikit. Kedua kakinya terangkat, sampai bagian belakang lututnya bertumpu pada pundakku. Aku julurkan lidahku di depan vulvanya yang basah itu, cuma di depannya, belum menempel. Masih jauh, malah. Kira-kira sejengkal dari sasaran. Aku diam terus sambil menjulurkan lidah. Mbak In jadi gemas dibuatnya.
“Cepet dong. Kamu jahat, Gus. Aku udah nggak tahan..”.
Ya, tunggu apa lagi? Dengan kedua jempolku aku rentang labia-nya. Merah tua kecoklatan, mengkilat basah. Clit-nya mengeras, seperti biji kacang garing. Ah nggak, clitoris manis ini seperti kacang mete, begitu pula ukurannya.
Dengan pelan kutempelkan ujung lidah ke clitorisnya yang mulai keras itu. Cuma menempel, tidak kugesekkan, tidak kujilatin.
“Auhh…, geli…, nikmat…, terus dong”, katanya.
Sekarang lidahku mulai bermain. Clit itu aku jilati. Tubuhnya bergetar. Lidahku terus menjelajah ke labia majora, ke seluruh vulva, sampai banjir permukaan vaginanya, karena campuran saliva dan cairan vagina. Dia terengah-engah.
“Ouhh…”, Mbak In cuma bersuara begitu. Pertama-tama Mbak In aku minta mengocok penisku sampai tegak sempurna. Lima menit kemudian penisku tegang kembali. Air maniku sudah mendidih rasanya. Aku rebahan di ranjang. Mbak Indriani di atas, meniduriku.
“Ayo Mbak tindih aku, pelan-pelan aja, digesekin tuh memek Mbak, kayak onani”.
Dia menurut saja. Naik turun, maju mundur, akhirnya kini vagina Mbak In telah telah basah. Penisku basah. Sudah deh, tidak ada foreplay lagi. Yang penting kini vaginanya sudah basah. Kemudian aku biarkan sendiri nalurinya sebagai wanita dewasa yang matang menuntun birahinya yang menyala-nyala semerah dinding dalam liang vaginanya.
Mula-mula penisku cuma masuk dua senti. Seret dan licin. Asyik juga. Mbak In merem melek. Cabut lagi, masuk lagi. Vaginanya semakin basah. Lubang vaginanya makin longgar. Kudorong lagi hingga bertambah 1 senti. Mbak In merem melek. Kuulang-ulang terus, aku lupa berapa kali, sampai akhirnya “slepppppp…”, burungku menembus pelan vagina si perawan tua yang selalu membuatku onani setiap hari itu.
“Nggak sakit Mbak?”, tanyaku.
“Nggak”, bisiknya.
Iya dong, mainnya pelan, vagina sudah longgar dan banjir, mana bisa sakit. Soal memuaskan wanita, aku mempunyai banyak pengalaman. Meski tidak keluar darah, tanpa rasa sakit, aku yakin inilah kali pertama vagina terhebat di dunia ini kemasukan penis.
Dengan jari kuelus permukaan vaginanya. Dia menggelinjang. Dua jempolku kembali menempel di kedua sisi bibir vaginanya, sehingga bisa merentang mulut vagina.
“Namanya apa sih Mbak?”, aku menggoda.
“Bego kalo kamu nggak tahu!”.
Aku terus menggoda, “Namanya apa sih? Sebutin dong, Mbak..”.
“Payah kamu! Udah sering ngerasain, sering nyoba,masih nggak tau juga”.
Aku diam saja, nggaktidak melakukan tindakan pada pemandangan di depan mukaku itu.
“Apa dong Mbak namanya?”.
“Tauk ah!”.
“Apa dong?”.
“Dikira-kira sendiri. tau?”.
“Apa dong?”.
“Ahh…, bawel amat sih!”.
“Apa dong…, lleelelelhett…, sebutin dong llelelelelhet”, aku menggodanya sembari memainkan lidah di labia dan kclit.
“Auhh…, gila. Nakal”.
“Apa dong, clat, clat, clatttt…”, lidahku semakin nakal, lalu aku hentikan.
“Kamu sendiri nyebutnya apa Gus?”.
Aku jawab, “Vulva, ada klitorisnya, ada labia majora dan minoranya..”.
“Uh kayak guru biologi aja, Gus. Pake nama latin segala..”.
“Habis apa dong..”.
“Malu ah…, udah tahu kan? Tabu buat disebutin, tapi aku sering ngebayangin juga sih..”.
“Kok ngebayangin?”.
“Iya, kalo lagi masturbasi aku sering mendesis-desis nyebutin kata-kata tabu, sambil memacu diri menuju orgasme bersama pria seksi…, Rasanya pingin ngelepasin semua hambatan gitu. Kamu ini mulai mancing ya?”.
“Maksud Mbak?”, aku tanya sembari menjilati bagian basah itu.
“Iyah, aku kan sering ngebayangin hal-hal yang terlarang termasuk ucapan-ucapan terlarang. Jadinya kalo lagi on, waktu masturbasi, ya nyebutin satu demi satu bagian terlarang…, Ahh kamu nakal, lidahmu pintar, udah sering yahh. Aduh…, geli!”.
“Hmm…, ayo dong Mbak..”.
“Iyahh sekalian basah, sekalian dibuka deh rahasia ini. Kalo lagi masturbasi aku sering nyebutin ini…, Aahh geli, nikmat terusin…, Aku sering nyebutin ini…, Ah kamu nakal!”.
Iya, gimana bisa ngomong lengkap, kalau mulutku semakin aktif dan binal menggarap pusat kewanitaannya?
“Aku sering berbisik, kadang juga berteriak, sih…, Itil, memek, jembut, burung, mani, itil, memek, burung, jembut, Gus!”.
“Lagi Mbak..”, Aku senang mendengar kata-kata tabu itu.
“Memek, iyaa…, me..mheekkkk…, iiiittt..theeeiiill…, jemm bouttttt…, kuonnnnn…tuuoll…, Gila nikmat banget teknik oralmu!”.
“Ini Mbak burungku!” Aku berdiri, aku mengacungkan penisku ke mukanya.
“Woooouwwww…, tambah gede. Udah ngerasain berapa memek nih?”.
“Pegang Mbak..” Dia memegangnya. Lalu mengelus. Akhirnya mengocok pelan.
“Isep dong…”.
“Ah nggak. Entar ajah…, Aku masih takut…”.
Aku tidak mau main paksa. Aku sadar sedang mengajari cewek mengenal pengalaman pertama. Biar umurnya sudah matang, tapi pengalaman masih nol. Lalu Mbak In kuminta jongkok di mukaku, sementara aku rebahan di karpet, kepalaku diganjal bantal.
“Sekarang Mbak yang aktif ya…, anggap aja lagi onani..”.
Wow! Tanpa penjelasan lebih lanjut dia langsung memainkan kemaluannya di mukaku, terutama di hidung dan mulutku. Namanya saja naluri? Biar tidak pengalaman, masih perawan, tapi kalau usia sudah matang, juga dia sering nonton film porno, sehingga tidak rikuk lagi menghadapi hal tersebut. Mbak In jadi pintar dalam waktu sekejap. Kadang dia jongkok mengambang, sehingga kemaluannya cuma mengambang di mukaku, tapi kadang juga menekan seperti menduduki wajahku. Begitu banyak cairan membajir dari liangnya.
Sekitar 10 menit hal itu berlangsung. Maju mundur, geser kanan kiri, berputar, begitu terus. Sampai akhirnya.., “Ahh gila…, mhemm..mhekkkkkkuuuuuuu…, itttttt..tillku…, Auhh…, Memek! Itil! Ayo jangan berhenti…, aku nggak kuat Gus!”.
Ah ini dia awal orgasme hebat. Tubuhnya mulai mengejang. Lalu kedua lutut Mbak In tergetar. Tidak ada suara dari mulutnya. Kemudian tubuhnya membungkuk. Dan akhirnya setengah telungkup di atas tubuhku. Kurasakan cairan vagina terus membanjiri wajahku, memasuki hidungku, tertelan oleh mulutku. Tubuh Mbak sudah basah oleh peluh.
“Terima kasih, Gus..”, bisiknya.
Dia menggelindingkan tubuh di sampingku. Nafasnya tersengal-sengal. Aku bangun berdiri. Dia masih rebahan. Kupandangi tubuhnya yang mengkilat, dengan kaki mengangkang dan lengan terentang hingga ketiaknya yang lebat itu tampak. Ah indahnya kejalangan seorang Mbak In!
Dia memandangi penisku yang teracung tegak. Aku pegang batangku. “Jangan sekarang”, katanya. Aku mengalah. Padahal nafsuku sudah sampai ke ubun-ubun.
Lantas Mbak In kubimbing untuk berdiri, duduk di sofa, dan aku ambilkan minuman untuknya.
“Thanx…”, katanya.
“Mbak capek?”, tanyaku. Dia mengangguk.
“Sini aku pijitin”, kataku.
Dia menurut ketika aku telungkupkann tubuhnya di sofa. Aku mulai memijat kakinya, lalu pinggangnya, dan punggungnya.
“hh…, nikmat…, kamu pinter, Gus”.
Saat itu penisku mulai mengendor. Nafsuku mulai berkurang.
Sekitar seperempat jam itu kupijati dia. Kini giliran mulut dan hidungku menciumi punggungnya, pinggangnya, pantatnya, dan entah apa lagi, pokoknya oral seks kupraktekkan lagi. Lendir mengalir membanjir. Penisku menegang lagi. Beberapa tetes mani beningpun keluar karena tidak tahan oleh birahiku yang kian menggila.
“Aku basah Mbak”, kataku.
Mbak In menoleh melihat penis tegakku yang pucuknya basah. Dia terbelalak. Lagi-lagi posisi tadi berulang. Bau keringat dan cairan vagina bercampur. Aku tidak tahu sudah berapa cc menghirup lendir encer yang keluar dari lubang vagina si perawan tua ini. Beberapa kali dia mengejang. Mungkin empat kali. Dan puncaknya adalah, “Mememekkku Gusssss…, Itiillku…, nggak tahan. Itillkuu mauuu lepassss…, Auh!”.
Dia orgasme hebat. Vaginanya seperti menyempit tiba-tiba.
Kami sama-sama lelah. Lalu beristirahat.
“Mandi air hangat yuk”, kataku.
Kami ke kamar mandi, menyegarkan diri dengan shower. Tanpa percumbuan, tanpa birahi, tanpa nafsu. Saling menyabuni dan mengeramasi. Penisku sudah mengecil.
“Lucu ih”, kata Mbak In sembari meremas penisku yang terkulai. Lalu kami tidur. Berpelukan dalam kamar sejuk ber-AC. Dengan segera aku terlelap karena kecapean.
Kami tertidur, sudah jam 3 pagi lebih. Capek dan ngantuk sekali. Ototku seperti terurai. Kami berpelukan di ranjang Mbak In, ranjang perawan tua yang selalu kesepian, menjadi saksi tiap kali si lajang onani karena diamuk birahi, menjadi saksi tiap kali beberapa helai bulu vaginanya rontok saat digusel oleh tangannya sendiri.
Di kamar ber-AC itu kami terlelap. Aku benamkan wajahku di ketiaknya yang lebat. Entah jam berapa aku tidak tahu karena Mbak In membangunkanku.
“Ini apaan? Kamu ngompol yah?”, tanyanya. Ternyata sprei telah basah oleh maniku, sebagian menyentuh pantat Mbak In.
“Ini maniku Mbak. Habis tertahan terus sih di dalam akhirnya cari jalan keluar sendiri. Aku sih nggak tahu, soalnya lagi tidur tadi”, kataku tersipu.
“Ih hangat dan lengket ya”, katanya.
“Bayangin aja kalo ini mengalir ke memek Mbak”, kataku.
“Nakal kamu”, dia mencubitku.
Dengan tissu kubersihkan ceceran maninya. Setelah itu aku tertidur lagi karena masih mengantuk. Mbak In sepertinya juga tertidur.
Pagi hari, ketika sudah agak terang, aku terbangun. Ternyata Mbak In sudah mandi, lagi make up di depan cermin.
“Aku harus masuk kerja”, katanya. “Padahal capek nih” lanjutnya.
Kupandangi dari ranjang. Tubuh yang kencang itu kuamati dari belakang. Inilah pesona si perawan tua. Dia cuma memakai celana dalam dan BH-nya hitam tipis mungil berenda. Oh, seksi sekali! Tak terasa penisku berdiri lagi.
Aku bangkit dengan senjata teracung. Aku hampiri Mbak In. Kupeluk dari belakang. Aku ciumi lehernya, ketiaknya sambil tanganku mengelus payudaranya yang kecil.
“Ah, jangan Gus, aku lagi make up nih…, nanti rusak make up-ku”.
Aku membisikinya, sambil menjilati telinga kirinya, “Janji deh Mbak make up nggak rusak, tapi dapet kenikmatan yang banyak diperoleh para cewek di kantor Mbak pada pagi hari..”.
Oh, aku kian merapat ke tubuhnya. Tapi tidak bisa mencium pipi dan bibirnya, takut kalau make up-nya rusak. Yang penting bisa menikmati bulu ketiaknya yang luar biasa itu dengan hidung dan mulutku. Penisku semakin tegak berdiri. Tanganku mengelus puting susu si perawan tua yang makin mengeras ini.
“Kamu terlalu, Gus”, bisiknya.
“Terlalu nikmat ya?”, tanyaku.
Aku terus memeluk dari belakang. Tanganku menggusel payudara mungilnya yang keras, payudara 42 tahun yang tidak pernah merasakan kenakalan lelaki muda. Hidungku merasakan sensasi gila yang luar biasa, bulu ketiak yang hitam lebat dan panjang.
“Ketek gini kok dianggurin bertahun-tahun sih Mbak”, tanyaku.
“Dianggurin gimana?”, tanyanya.
“Ya dianggurin dalam arti nggak pernah diciumin laki, nggak pernah digosokin burung”.
“Heh, burung main di ketek? Bisa? Coba dong..”.
Make up-nya Mbak In sudah selesai. Sekarang dia duduk di kursi rias, lantas kedua lengannya diangkat sehingga bulu ketiaknya tampak jelas. Penisku yang tegang, aku gosokkan ke ketiaknya. Wuahh…, hangat, lembbut, seperti menyentuh bulu vagina. Mbak In melihatku dengan pandangan mesra. Penisku semakin besar dan mengeras. Ingin sekali rasanya minta penisku dicium, dijilat lalu dihisap olehnya. Tapi nanti dulu, si perawan tua ini harus dilatih. Kalau serba mendadak bisa trauma nanti dan jadi alergi dengan penis.
Akhirnya aku tidak tahan juga. Rasanya maniku sudah mendidih. Belum pernah aku onani memakai bulu ketiak, dulu aku tidakak suka dengan cewek yang ketiaknya berbulu. Karena tidak sabar aku gesekkan penisku ke ketiaknya sambil kukocok.
“Mbak aku udah nggak kuat, bayangin dari semalem cuma nahan burung supaya nggak masuk memekmu, jadi gimana dong..”. Mbak In tersenyum.
“Mbak, bantu dong Mbak”, pintaku. Tangannya meraih penisku lalu mengocoknya pelan.
“Cepat Mbak. Dia menurut. Terus Mbak..”.
“Aduh pegel nih…, gantian tangan kiri ya..”, Aku tidak bisa berkata apa-apa cuma mengangguk. Air maniku yang mendidih tadi tidak jadi keluar. Yang pasti rangsangan yang kuterima semakin kuat.
Mbak In mulai berkeringat. Uh, tambah cantik melihat si perawan tua yang berberbulu ketiak lebat ini berpeluh. Ketiaknya juga basah, payudaranya juga.
“Tanganku capek..”, katanya. Ya sudah aku kocok sendiri penisku.
“Kamu pingin apa Gus?”, tanyanya.
Aku bilang, “Pokoknya pingin nikmat, tuntas, sampe orgasme dan maniku terkuras abis”.
“Tapi aku belon siap buat bersetubuh. Memekku belon siap dirobek selaputnya. Belon siap disembur cairan lelaki..”, katanya manja.
“Yah gimana Mbak, aku nggak bisa mikir nih”. Mbak In jongkok. Mengamati dari dekat caraku mengocok penis. Mulutnya ternganga.
“Oh gitu ya…, gila..”, katanya. Aku sudah tidak tahan.
“Awas Mbak mau muncrat nih!”, Mbak In terbelalak.
Aduh bagaimana kalau mani ini nanti kena mukanya, kena bibirnya. Dia kan masih perawan. Vaginanya saja belum pernah disembur mani, kok muka dan mulutnya, kasihan…
“Terus Gus!”, katanya.Tangannya menyingkirkan tanganku.
“Biar aku aja”, katanya. Aku nurut saja.
Tangan lembut berjemari lentik itu mengocok penisku pelan-pelan. Aku sudah tidak tahan.
“Cepetan Mbak!”, kataku. Dia semakin cepat mengocok penisku.
“Mbak angkat dong lengan kiri. Aku mau lihat ketiakmu yang lebat itu..”.
Jadilah dia jongkok sambil mengangkat lengan memamerkan ketiak hebat yang berbulu luar biasa. Aku semakin bernafsu. Akhirnya aku cuma bisa berkata, “Awassssss…”. Dan “Crat…, crat…, crat”, air maniku muncrat keras, banyak, dan kental. Mbak In sempat menarik muka menjauh, tapi payudaranya yang mungil dan kencang itu terkena semprotan air maniku.
“Uh, yang namanya mani ternyata hangat ya..”.
Dioles-oleskannya air maniku ke seluruh payudaranya.
“Kok lengket ya…, Kayaknya superglue, hihihik…, Gimana kalo misalnya masuk ke memekku…, Ih aku harus ganti beha nih..”.
Mbak In masih terheran-heran oleh air maniku, benda yang baru dilihatnya ketika usianya sudah 42 thn. Dalam ruang ber-AC mani yang teroles rata di payudaranya cepat mengering.
“Wahh…, ini rupanya krim pengencang tetek. Di kulit kenceng rasanya, Gus..”.
“Buat facial juga bisa Mbak. Makanya di VCD selalu ada facial cumshot…”.
“Ih, nakal deh kamu”, katanya sambil mencubit pipiku.
Aku capek sekali. Terima kasih Mbak In sayang, perawan tuaku. Pagi itu kami berangkat bersama dan sepakat untuk ketemu lagi buat belajar seks. Kami sering bertemu. Jalan-jalan, makan, nonton, seperti orang pacaran. Lalu ya biasalah main seks tanpa persetubuhan. Hal itu berlangsung 5 bulan. Kami bertemu seminggu 2 kali. Oral seks itu rutin. Hanya aku yang melakukan oral seks pada dia, dianya sendiri tidak pernah melakukan oral pada penisku. Ini prestasi buatku. Kencan sudah hot, tapi tidak ada persetubuhan. Vagina Mbak In bisa dijilat dan dihisap sampai kering, tapi keperawanannya masih tetap terjaga. Air maniku sudah bocor berkali-kali, tapi tidak setetespun yang menyelinap ke cervix si lajang hangat bernafsu kuat itu. Maka hanya cunnilingus (tanpa diimbangi felatio) yang selalu berlangsung.
Tak apa. Aku sendiri suka bisa mengerem nafsu, sekaligus belajar memperoleh kepuasan tanpa menancapkan penis ke lubang vagina yang tiada henti mendambakan kenikmatan, lubang vagina yang sebetulnya memendam iri pada vagina wanita lain yang sering dijejali penis dan ditumpahi mani hangat. Tapi, yah…, vaginanya saja belum kena penis, masak mulutnya sudah dimasukkin penis, Kasihan kan? Pemanasan kami tentu dengan nonton BF di VCD. Aku kan punya banyak koleksi film BF. Juga dari majalah.
Ternyata Mbak In si perawan tua ini punya beberapa majalah hot. Katanya sih seperti surat kaleng mendapatkannya. Diposkan ke rumah tanpa nama pengirim. Dia menduga dari cewek-cewek di kantornya yang baru saja pulang dari luar negeri. Majalah itu menjadi bahan onaninya Mbak In. Atau juga onani kami berdua. Muncratnya air maniku ya paling-paling di payudara mungilnya, atau di perutnya, pernah di pusarnya dan ceceran air maniku itu merambat ke bulu superlebatnya.
Hari itu Mbak In genap 42 tahun. Cuma kami rayakan berdua saja di sebuah restoran di hotel berbintang lima. Dia seksi sekali malam itu. Memakai sack dress ketat tanpa lengan, tanpa BH. Karena dia punya kebiasaan menyibak rambut, sehingga bila lengannya terangkat, maka ketiak hebat itu tampak. Aku lihat pelayan restoran dan pengunjung lain pada ngeliatin. Mbak In sendiri sepertinya bangga dengan ketiaknya sekarang.
Pulang dari restoran kami bercumbu, seperti biasanya. Pakai oral, pakai kocok-kocokan, hingga air maniku mau habis. Mbak In sudah terbiasa dengan muncratan mani. Dibiarkannya air maniku membasahi payudaranya bahkan lehernya. Kadang di perutnya, tepat di pusar. Mbak In makin pintar. Cara mengocoknya semakin hebat. Paduan irama lambat kadang cepat bisa menguras maniku. Kadang penisku digesek-gesekkannya ke ketiak lebatnya, ke payudara mungilnya. Air maniku pernah menetes di ketiaknya. Habis nikmat sih, seperti menggesek bulu vagina.
“Hari ini aku genap 42 tahun, Gus. Jadikan aku wanita selengkap-lenglapnya” pintanya, setelah kami istirahat karena kecapekan.
Hari sudah menjelang pagi. Tapi penisku masih bisa berdiri tegak. Inilah saatnya untuk membobol si perawan tua ratu jembut yang jago onani itu, yang vaginanya merindukan sodokan dan elusan batangan daging bertulang lunak, dengan moncong water canon yang siap menembakkan cairan kental yang kencang di kulit wanita. Aku tentu saja mengiyakan.
“Terserah caramu, asal nikmat”, katanya.
Di atas tubuhku Mbak In bergeser pelan, memutar pinggul, goyang kanan kiri. Serba pelan. Kali ini dia tidak banyak bicara. Cuma merem melek sambil ah.., uh.., ah.
Akhirnya aku tidak tahan. Vagina perawan tua itu tiba-tiba seperti menyempit dan menyedot penisku.
“Mbak, Aku mau keluar., Mbak!”, Mbak In cuma menciumku dengan mesara. Keringatnya menetes di wajahku. Aku tidak ingat apa-apa lagi. Rasanya seluruh cairan kelelakianku tersedeot. Seluruh tubuhku seperti diperas. Inilah orgasme hebat yang jarang kualami. Ternyata aku tidak muncrat, cuma mengalir pelan tapi banyak maninya. Saat itu juga Mbak In orgasme. Tubuhnya mengejang, menggelepar di atas tubuhku, dengan keringat membasahi tubuh. Bau ketiaknya kian merangsang.
Dia terpejam menikmati orgasmenya yang pertama kali lewat persetubuhan.
“Oh indahnya. Terima kasih Gus”, katanya.
Tidak ada jeritan liar yang menyebutkan segala genital dalam bahasa sehari-hari. Tidak ada teriakan tertahan. Semuanya begitu lembut, hangat, dan indah. Aku merasa seperti perjaka yang kelepasan kemurniannya. Kalo Mbak In sih jelas, perawan tua yang terlepas keutuhannya, dengan lembut, tanpa robekan selaput yang menyakitkan, tanpa darah karena koyakan.
Sampai terang matahari kami masih berpelukan. Kami berdua bolos kerja. Mandi berdua pakai air hangat, alangkah segarnya. Lalu tidur. Siangnya setelah makan kami bersetubuh lagi. Aku yang di atas. Air maniku masih bisa membanjir, menggenangi vaginanya. Lalu istirahat. Sore bersetubuh lagi.
Hari-hari selanjutnya persetubuhan menjadi rutin. Entah sudah berapa cc air maniku mengalir ke vagina perempuan berusia 42 tahun ini, tapi masih seperti vagina gadis remaja karena tidak pernah dipakai itu. Semua adegan BF kami tiru, kami coba. Mbak In makin pintar. Juga makin buas. Indriani si jembut lebat, dengan vagina coklat dan clitoris sebesar mete ini memang wanita yang tepat untuk menguras syahwat. Indriani, kenapa sih birahimu kau simpan sekian lama, tersembunyi dalam vagina gelap dan bulu lebatmu? Demi karierkah kau menahan nafsu betinamu? Kau buang hari-harimu tanpa merasakan cipratan mani dan sodokan penis pada cervix-mu.
Aku semakin terikat padanya. Aku makin menyayanginya. Inikah cinta? Sayang seribu satu sayang, Mbak Indriani si lajang kesepian bersyahwat dahsyat itu tidak pernah membicarakan soal asmara. Tak adakah cinta di kamus hatinya? Tak adakah cinta di ujung vaginanya, agar kelak bisa berbuah janin?
Banyak sudah variasi yang kami lakukan. Hanya satu yang belum. Mbak In membiarkan mani muncrat di wajahnya, begitu pula kepada mulutnya, padahal aku ingin sekali, karena setiap kali masturbasi itulah termasuk yang kubayangkan.
Hari ini ulang tahunku ke 25. Kami bercinta. Waktu ditanya apa permintaan istimewaku, maka aku jawab, “facial cumshot kayak di VCD porno”.
Surprised! Mbak In mau. Tapi dengan syarat aku harus bisa membuatnya orgasme terlebih dahulu. Ya maka kami bersetubuh dengan posisi dia di atas.
Berkali-kali dia mengingatkan, “Awas, jangan muncrat dulu Gus..!”.
Kalu aku sudah mau keluar, Mbak mencabut vaginanya, lalu meloncat dan menggesek-gesekkan vaginanya ke mukaku. Mulutku melumat habis vagina dan clitoris-nya sampai aku minum cairan vaginanya banyak sekali. Begitulah sampai akhirnya dia klimaks, sambil bicara keras.
“Akan aku habisin manimu…, manniimuuu…, mhannn..nhiiii..muuu…, spermaamu…, pake mulutku untuk pertama kalinya Gus!”.
Semoga tetangga tidak ada yang mendengar. Mbak In kalau sudah di puncak birahi memang tidak bisa mengontrol diri. Pingin teriak yang tabu-tabu. Kadang setengah menjerit, “burungll” atau, “Memekku! Memekku! Memekku…”.
Tapi aku justru malah senang. Malah tambah terangsang. Aku paling suka kalau melihat dia menjadi jalang, jadi budak birahi. Nah begitu selesai klimaksnya dengan banjir cairan vagina, Mbak In langsung melumat penisku.
Inilah kelebihan wanita. Biar belum pernah melakukan oral seks di penisku, toh terampil juga. Dia hisap, dia kocok, dia jilat, sedot, lumat, kocok, sampai akhirnya aku tidak tahan. Menjelang puncakku, Mbak In melepaskan mulutnya. Si lajang penuh birahi itupun turun dari ranjang, lalu bersimpuh di lantai. Aku disuruhnya bangun dan berdiri. Maniku sudah tidak tahan. Lalu dia mengocok lagi penisku sambil jongkok, sementara aku berdiri.
“Mbak pake satu tangan aja. Tangan Mbak yang satunya diangkat, biar aku muncrat sambil menikmati jembut ketek yang fantastis itu..”, pintaku. Oh, dia menurutiku. Maka tangan kiri mengocok pelan penisku, tangan kanan terangkat, merentang lengan, sampai ketiaknya terlihat jelas. Penisku semakin menegang. Jilatannya makin gila. Kocokannya makin habat.
“Mbaak..”, aku menjerit tertahan. Semuanya berlangsung cepat. Maniku muncrat, “Crat…, crat…, crat”, Masuk ke mulutnya, tapi tidak tertampung semuanya. Jadilah membasahi pipi dan hidungnya. Bibirnya belepotan mani. Sebagian menetes ke payudaranya yang mungil tapi keras kenyal itu.
“Enak juga mani ternyata”, katanya setelah kami terengah-engah duduk di lantai. Kami istirahat.
Pagi esoknya ketika aku masih tertidur, aku terbangun. Karena ternyata penisku sudah dihisap si lajang 42 tahun yang sekarang haus mani itu.
“Iya Mbak ini jamu, biar awet muda. Buat facial bisa bikin wajah kiencang”, kataku.
“Katanya sih gitu. Temen-temen itu juga pada minum mani dan dipakai buat cuci muka”, katanya sambil terus mengocok penisku.
Akhirnya maniku mengalir dan menjadi jamu yang langsung dihisep semuanya. Mbak Indriani memang hebat. Kali ini tidak ada air maniku yang tercecer. Semuanya masuk ke mulut dan ditelannya. Eh, tidak semua sih. Jarinya sempat masuk ke mulut, lalu mengoleskan mani encer itu ke puting susunya. Sebagai hadiah, aku oral vaginanya. Aku sibak bibir besar di mulut vaginanya dengan jari, lalu mulut aku runcingkan, dan sruppp…, masuk ke pintu liang vaginanya. Lidahku menjilat, mulutku menyedot. Semua bagian terkena, dinding luar vagina, labia mayora, labia minora, clitorinya yang sebesar kacang mete itu. Dan terakhir…, aku masukkan pula jariku, berputar-putar di dalam, menggapai G-Spot Mbak In, sementara bibir dan lidahku menggarap daerah pembangkit birahinya. Tentu saja Mbak Indriani jadi blingsatan.
Ketika dia menjerit, “Itilkuuuu lepas…”, saat itulah vaginanya membanjir dan membasahi tenggorokanku, asem asin rasanya. Dan bulu vaginanya itu basah kuyup, oleh campuran lendir vagina dan ludahku. Hari ini memang nikmat sekali.
Setelah itu, hari-hari selanjutnya, seks kami makin gila. Kalau main 69 seringkali sampai air maniku muncrat di mulut mungilnya itu. Tapi Mbak In masih haus variasi. Pingin seperti di BF yang bermacam-macam gaya.
Sudah enam bulan hubungan kami terjalin, dengan penuh birahi dan mani. Mbak In seperti orang yang baru mengenal seks. Memang ya, baru kenal. Makanya keranjingan bersetubuh. Maunya penis dan mani. Beginikah kalau wanita dewasa melajang terlalu lama, obsesinya cuma penis dan mani lelaki, dan yang namanya onani tidak memuaskan dirinya sendiri.
Suatu kali Mbak punya permintaan gila, ingin main bertiga dengan cewek lain. Aku yang harus mencari ceweknya. Tapi itu soal kecil. Aku dulu, sebelum sama Mbak In, suka jajan, jadi punya langganan cewek nakal. Langgananku yang aku sukai adalah Susi. Tubuhnya sintal, kulitnya putih, payudaranya 38, bulu vaginanya tipis, vaginanya merah. Dia jago oral seks. Aku mengontak ke handphone Susi dan dia setuju. Kami janjian di motel Pondok Nirwana di Cawang. Ngakunya sih dia juga kangen.
Di motel aku dan Mbak In check in ke kamar VIP, menutup rolling door, lalu nonton video yang disiarin di TV yang tergantung di atas. Isinya orang bersetubuh, kebetulan main keroyokan, satu pria menghadapi empat perempuan. Puncaknya air maninya menjadi rebutan empat mulut mungil. Wah aku juga mau tuh! Sambil nonton kami petting. Aku cuma memakai celana dalam. Mbak In memakai lingerie satin putih yang tembus pandang, sehingga bulu vaginanya lari kemana-mana.
Ketika Susi datang, Mbak In seang pipis. Tidah tahu, kenapa lama sekali di toilet ya. Padahal begitu Susi datang kami langsung berciuman karena kangen. Ketika berpelukan aku tambah ereksi. Susi memakai rok mini dan koas you can see ketat. Langsung kulepas CD-ku.
“Ya ampun Gus, udah napsu banget ya…, Apa nih, minta diisep dulu apa langsung tancep ke memek?”.
Aku tidak menjawab, Susi langsung jongkok mengisap penisku. Sambil dikocoknya pelan. Sudah biasa tuh kami kencan di sini. Ketika sedang nikmat-enaknya dioral, eh Mbak In keluar. Susi tentu saja kaget dan malu. Dia salah tingkah. Mbak In segera mengatasi keadaan.
“Nggak usah malu, Sus. Ini memang mauku. Aku pingin belajar dari kalian”.
Lalu aku menjelaskan kalau kami butuh selingan. Aku mengaku kami ini pengantin baru. Susi agak heran, kok aku memanggil “istriku” itu Mbak. Tapi namanya saja bisnis, Susi minta tambah. Kalau sendirian melayani aku Rp 300.000, maka kali ini minta Rp 500.000.
Mbak In karena nafsunya sudah di ubun-ubun, mengiyakan saja. Uang dia kan banyak.
“Aku udah sediain cash cukup kok hari ini..”, Hebat juga si jembut lebat ini, bisa mengantisipasi.
“Mbak pinginnya gimana?”, tanya Susi.
Ternyata Mbak In maunya melihat dia striptis, setelah itu pingin melihat dia bersetubuh denganku. Susi mau. Aku dan Mbak melihat striptisnya dari ranjang sambil saling merangsang. Makin hebat striptisnya Susi, Mbak In makin basah. Padahal Susi belum telanjang.
Ketika Susi telanjang, Mbak In kian terbakar. Dia meniru Susi mempermainkan payudara dan puting susunya. Dia juga meniru waktu Susi memasukkan dua jari ke vagina lalu menjilatinya. Aku tentu saja makin ereksi.
“Oh gini rupanya cara merangsang lelaki”, kata Mbak In. Ketika Susi nungging, lalu memasukkan jarinya ke vaginanya dari belakang, Mbak In menirukannya. Waktu Susi menyodorkan telapak tangannya untuk minta ludahku, yang mana tangan basah itu akhirnya dia oleskan ke vagina dan anusnya, Mbak In juga ikut. Jadi kering tuh tenggorokanku. Susi sambil nungging memasukkan jari ke anusnya, Mbak In mengikutinya. Hanya satu yang Mbak In tidak bisa, menjilati putingnya sendiri.
Akhirnya aku punya ide. Susi aku minta berdiri, mengangkat lengan, lalu menjilati ketiaknya. Mbak In yang duduk bersandar di atas kasur ikut mencobanya. Wow, seksi sekali. Ketiak lebat itu basah oleh jilatannya sendiri.
Akhirnya Mbak In tidak tahan waktu melihat Susi mengangkangkan satu kaki di atas ranjang, sambil meremas vaginanya yang merah yang berbulu tipis itu. Susi, gadis sipit dari Pontianak itu memang sensual dan erotis. Mbak In terengah.
“Udah giliranku dulu baru kamu Sus. Ayo Gus, mana burungmu…”.
Aku menarik Mbak In ke sofa. Aku duduk seperti memangkunya, lalu Mbak In jongkok di atas pangkuanku sambil mengangkang, dengan begitu penisku bisa menembus vagina Mbak In yang lebih gelap dari Susi. “Blkessss…”, nikmat sekali masuknya karena sudah licin vagina Mbak In si lajang gila seks. Susi hanya melihat saja. Akhirnya dia punya inisiatif. Dia ciumi vagina Mbak In dan penisku, sementara pantat Mbak In naik turun.
Jadi begini posisinya. Mbak In mengangkang di pangkuanku, menghadap ke depan, dengan vagina tertembus penis, sementara Susi nungging di depan sofa dengan muka menempel di kemaluan kami. Jilatan Susi kian menggila. Ketika penisku keluar, karena meleset gara-gara vagina Mbak In sudah banjir, segera ditangkapnya dan dikocok. Sementara mulutnya masih menggarap clitoris dan vagina Mbak In.
Mbak terengah-engah. Kadang menjerit. Susi memang pintar. Jam terbangnya sebagai wanita nakal tahu bahwa penisku mau muncrat. Maka peniskupun digenggamnya erat, agar kecekik, sehingga maniku tertahan. Sementara itu mulut dan tangan kanan Susi sibuk menggerayangi tubuh Mbak In. Si Mbak rupanya sudah tidak peduli kalau penisku sudah tidak di dalam vaginanya lagi. Oralnya si Susi telah melambungkannya ke alam birahi ternikmat di dunia.
Akhirnya Mbak In mencapai klimaks. Aku dengar suara mulut Susi mengisap-isap cairan vagina Mbak. “Slrppppp..”. Beberapa kali Mbak In klimaks, sampai akhirnya menjerit, “Memek, memek, memekkuuu…, nggak tahan…, Lu memang lonte hebat Susi…, Ajarin aku buat menikmatin seks…, Auhh…, itilku mau lepas, aku kebelet pipis, memekku mau pecah…, Mana burung, mana mani..”.
Semakin seru ucapan Mbak In di ambang puncak dari segala puncak birahinya.
Akhirnya semuanya usai. Mbak In terkulai, dengan vagina memerah basah, begitu pula bulu lebatnya yang basah kuyup, karena campuran cairan vagina dan ludah si amoy Susi. Mbak Indriani turun dari pangkuanku, lalu merebahkan diri di kasur. Aku sudah tidak tahan. Maka segera aku kocok penisku.
Susi tiba-tiba bilang, “Jangan Gus. Itu buatku. Lu pikir gue nggak kangen juga. Biar lonte gue juga butuh nikmat lho..”
Susi rebah di ranjang, di sebelah Mbak In, lalu mengangkang, dan penisku ditariknya. Lalu, “Bles…”. Baru dua menit aku sudah muncrat habis-habisan. Tapi aku tahu siapa Susi karena aku langganannya. Justru ketika aku muncrat itulah dia mulai beranjak orgasme. Ketika penisku melemas, dia seperti berpacu dengan waktu, agar bisa mencapai puncak, sementara vaginanya kian licin karena sperma, dan penisku bisa tergelincir keluar.
Akhirnya dia puncak juga. Dan memberi servis extra, melumat penisku yang melemas dengan mulutnya, sampai penisku betul-betul mengerut kecil dan kering maninya. Setelah itu kami istirahat, memesan makanan yang diantar oleh pelayan. Kami telanjang. Pelayan motel tidak bakal melihat, karena nganternya cuma dari lubang.
“Gua mau mandi ah”, kata Susi. Dia memang cuma makan sedikit, sehingga dengan nikmat bisa mutusin buat mandi. Begitu shower di kamar mandi terdengar, Mbak In meraihku.
“Masih bisa berdiri nggak, Gus?”.
“Aduh, aku capek Mbak, udah lemas..”.
“Ya udah, kita 69 aja ya…, Aku lagi birahi tinggi nih…, Biasa, mau mens Gus”.
Lalu kami ber-69. Mula-mula aku keringkan vagina basah dengan bulu yang awut-awutan dengan celana dalam Mbak In. Itu yang sering aku lakukan, mengepel vagina dengan underwearnya Mbak In.
Setelah vaginanya kering, aku jelajahi dengan mulutku. Rupanya cairan vagina Mbak In juga sudah habis. Jadi aku harus mengeluarkan saliva-ku agar vaginanya basah. Karena aku berposisi 69 di atas, maka kusibak lubang itu selebar-lebarnya, lalu aku ludahi. Setelah basah, aku mengulum clitoris Mbak In yang sebesar mete itu.
Setelah kami berukar posisi. Dia di atas. Setelah itu jariku masuk ke vaginanya. Satu jari dulu, jari tengah, keluar masuk, berputar-putar, menjelajahi lubang si lajang jalang. Lalu dua jari, jari tengah dan telunjuk. Selama dalam lubang, sebisa mungkin aku membentuk tanda V, sambil mengeksplorasi liang Mbak Indriani. Dia mulai terangsang. Mulai merintih. Mulai basah. Akhirnya tiga jariku masuk ke vaginanya, dan berputar-putar.
“Gilaa…, kenapa nggak dari dulu kamu lakukan Gus? Terusss..”.
Karena di atas, Mbak lebih leluasa. Pinggulnya terus bergerak. Aku sempat kehabisan napas, soalnya hidung dan mulutku digusel vagina dan bulu vaginanya tiada henti, sehingga oksigen terhambat masuk ke mulut dan hidungku. Mbak In sendiri makin kuat mengulum dan mengocok penisku. Akhirnya aku ereksi sedikit, dan akhirnya bisa berdiri tegak.
“Terus Mbak, dikocok, diemut, dijilat…, Terus…, sampe keluar maniku..”.
“Sayang banget kalo kamu muncrat sekarang. Masukin dulu ke lubangku, baru kamu boleh muncrat..”.
“Tapi Mbak di atas ya..”.
Mbak In tidak menjawsab, tapi langsung ganti posisi. Dia menindihku dan dalam sekejap vaginanya tertembus oleh penisku. Dia terus bergerak. Keringatnya membanjir. Lipstiknya habis. Rambutnya acak-acakan. Tapi entah mengapa dia jadi kelihatan cantik sekaligus jalang.
“Gus kamu tahan nafsumu, jangan ikutan aktif, biar nggak nggak cepat muncrat..”. Lalu dia memacu diri.
Saat itulah Susi keluar dari kamar mandi, cuma dililit handuk.
“Ayo Susi sayang, bantu aku..”.
Susi ketawa, “Udah tuntasin aja secepatnya Mbak..”.
“Ayo Sus..”, kata Mbak In.
“Tapi tambah Rp 75.000 ya?”.
“Terlalu lu Sus…, Komersil banget sih?”.
“Gue kan nyari nafkah Mbak…” Sambil menjawab, Susi sudah duduk di samping kami. Tangannya meraba biji pelirku.
“Gini deh, mulut gue udah capek nih. Gimana kalo pake jari, tapi gratis?”.
Mbak In yang terengah-engah itu tidak menjawab. Yang terasa sekarang adalah penisku seperti punya teman di lubang. Jari tengah Susi ikut menembus vagina Mbak In. Mbak In blingsatan. Mulai ngomong jorok.
“Bagus, Sus, bagus…, Gila, itil gue lu jepit pake jari ya?, Uhh”, Mbak In kian berkeringat. Aku tidak melihat apa yang sedang trjadi, karena posisiku tidak memungkinkan untuk tahu. Bayangkan, Mbak In di atas, dan terus menciumiku. Aku tahu, birahinya mulai menanjak kencang. Yang pasti kurasakan jemari Susi bermain-main di kemaluan kami.
“Gila! Gila! Gila Gus! Dua jari njepit itilku, lalu jempolnya masuk dubur…, Terlalu Gus! Nikmat Gus! Gila Gus. Jempolnya udah digantiin jari lain…, gilaa, Uhh aku sampai puncak!”.
Mbak In bergerak liar, akibatnya penisku terlepas. Tapi dia tidak mempedulikan penisku lagi, soalnya jemari Susi terus memburu, menggarap clitoris dan anus. Akhirnya Mbak In terkulai setelah menjerit, “Akuuuuuuu!”. Aku sendiri segera mengocok penisku. Tidak sampai semenit penisku sudah mendidih dan siap muncrat. Dengan segera aku bangkit, memiringkan badan, dan mengarahkan penisku ke wajah Mbak In yang tergolek kelelahan dengan nafas terengah-engah. “Cratttt.., tes.., tes..”, Air maniku menyiram wajah Mbak In yang siang ini tampak cantik sekali. Kena pipinya, hidungnya, bibirnya, bahkan matanya. Itulah salah satu petualangan seks-ku dengan Mbak Indriani….
TAMAT

Lihat Ini Uga Bleh:

Berpacu dengan Haris ke Klimaks - Kisah Seksualita


“Jangan ah, nanti suamiku cemburu,” kataku sambil menunjukkan cincin kimpoiku yang berkilat karena memang masih baru itu. Begitulah jawaban dan gaya yang kuberikan pada customer atau rekan kerja yang mencoba-coba dengan dialog-dialog menjurus, atau bahkan yang terang-terangan, dengan harapan dapat mengajakku kencan. Memang wajar saja jika banyak yang tergoda melakukan itu. Walau di kantor yang cukup bonafit di kota Surabaya ini, aku selalu menjaga sikapku, namun tak dapat dihindari bahwa aku memang dikaruniai wajah yang cantik dengan tinggi 165 cm, berat 52 kg, kaki yang jenjang dan sepasang buah dada montok. Usiaku pun masih muda untuk lingkungan kantorku, baru 24 tahun pada saat kisah ini terjadi 3 tahun yang lalu. Devi N****(edited) namaku.

Gelombang ajakan dan godaan menerpaku, namun masih mampu kutepis karena pada dasarnya aku memang mencintai suamiku. Hampir setahun menikah tanpa dikaruniai anak, pertahananku jebol saat muncul rekan kerja dari perusahaan mitra yang bernama Haris. Walau beda perusahaan, tugas Haris menuntutnya untuk sering datang ke kantorku dan kebetulan hubungan kerjanya sangat terkait erat denganku. Akibatnya kami sering menghabiskan waktu bersama. Dimulai dari pekerjaan di kantorku, lalu meeting di café beramai-ramai, yang akhirnya sering kami lanjutkan berduaan setelah mitra kerja yang lain pulang, atau berjalan-jalan bersama di mal untuk mencari kebutuhan kantor. Lama kelamaan kudapatkan banyak kecocokan di antara Haris dan aku yang tak kudapatkan dalam diri suamiku. Apalagi bidang kerja kami selaras sehingga komunikasi kami terasa lebih “nyambung”.

Suatu siang setelah mencari beberapa buku acuan untuk keperluan pekerjaan, kami melewati lokasi arcade di mal besar itu dan aku melihat permainan dance machine yang sangat kusukai, namun biasanya kumainkan sendiri karena suamiku tak menyukainya. Spontan kuajak Haris untuk menemaniku bermain dan ternyata ia menyambutnya dengan bersemangat karena ia juga menyukainya. Bertambah lagi satu kecocokan di antara kami. Kami pun bermain beberapa game hingga di tengah game terakhir, mungkin karena terlalu bersemangat mendapatkan teman bermain, aku terpeleset sampai kakiku terkilir. Tak ada lagi yang bisa kami lakukan selain pergi ke dokter. Sepulang dari dokter, masih dengan jalan tertatih-tatih, Haris mengusulkan untuk mengantarku pulang saja, dan tak kembali ke kantor agar aku bisa beristirahat. Aku setuju saja walaupun saat itu kakiku sudah tak terlalu sakit lagi, namun masih terasa sangat mengganjal.

Setiba di rumah, kuajak Haris untuk mampir dan ia menerimanya dengan senang hati. Haris memapahku sampai ke kamar, lalu membantuku duduk di ranjang. Dengan manja kuminta ia mengambilkan aku minuman di dapur, karena memang sebelum mendapatkan anak, aku dan suamiku telah sepakat untuk tidak memelihara pembantu, jadi saat itu rumahku kosong. Haris mengambilkan minuman dan kembali ke kamar mendapatkan aku telah melepas blazer dan sedang memijat betisku. Ia agak tersentak melihatku, karena selain tinggal memakai blous “you can see” longgar yang membuat ketiak dan buah dadaku yang putih mulus itu mengintip nakal, posisi kakiku juga menarik rokku hingga pahaku yang juga putih mulus itu terbuka untuk menggoda matanya. Tampak sekali ia menahan diri dan mengalihkan pandangan saat memberikan minuman kepadaku. Memang “gentleman” pria ini.

“Ris, pijetin kakiku dong, biar darahnya lebih lancar. Ini balutannya kenceng banget sih, sampe sakit. Pijetanku nggak ada tenaganya nih!” ujarku tulus. Sungguh mati, pada saat itu, sikap tubuhku dan kata-kataku sama sekali tidak bertujuan menggodanya. Memang itulah yang kuinginkan, hanya pijatan untuk melancarkan darahku yang terasa terbebat, tak lebih. Haris duduk di pinggir ranjang dan mulai memijat betisku dari bawah lutut sampai hampir mencapai pergelangan kakiku yang dibalut perban.
“Kayaknya emang harus ketat, Dev. Dokter bilang, supaya bengkaknya lebih cepet kempes,” tukas Haris sambil terus memijatku.
“Mmm, iya kali,” jawabku sekenanya sementara mataku terpejam menikmati pijatannya yang memang membuat kakiku lebih nyaman. Tak lama Haris memijat sampai kurasakan kenyamanan dalam tubuhku berangsur beralih menjadi perasaan berdesir yang aneh setiap kali tangan kekarnya menyentuh kakiku. Kubuka mata dan kutatap wajah Haris yang tampak serius memijat kakiku. Sama sekali tidak tampan, bahkan cenderung keras, wajah Haris sangat bertolak belakang dengan sikapnya yang demikian lembut memperlakukanku selama ini.

Tenaga dan penampilan keras serta sikap lembut, kombinasi yang tak kudapatkan dari suamiku, ditambah berbagai macam kecocokan di antara kami. Mungkin inilah yang mendorongku untuk menggeser posisiku mendekatinya, lalu mencium bibirnya. Haris terkejut, namun tak berusaha menghindar. Dibiarkannya aku mencium bibirnya beberapa saat sebelum akhirnya ia merespon dengan hisapan lembut pada bibir bawahku yang basah. Kami saling menghisap bibir beberapa saat sampai akhirnya Haris yang lebih dulu melepas ciuman hangat kami.
“Dev..” katanya ragu. Kami saling menatap beberapa saat. Komunikasi tanpa kata-kata akhirnya memberi jawaban dan keputusan yang sama dalam hati kami, lalu hampir berbarengan, wajah kami sama-sama maju dan kembali saling berciuman dengan mesra dan hangat, saling menghisap bibir, lalu lama kelamaan, entah siapa yang memulai, aku dan Haris saling menghisap lidah dan ciuman pun semakin bertambah panas dan bergairah.

Ciuman dan hisapan berlanjut terus, sementara tangan Haris mulai beralih dari betisku, merayap ke pahaku dan membelainya dengan lembut. Darahku semakin berdesir. Mataku terpejam. Entah bagaimana pria yang tampaknya sekasar dia bisa menyentuh selembut ini, aku tak peduli dan menikmati saja kelembutan yang memancing gairah ini. Kembali Haris yang melepas bibirnya dari bibirku. Namun kali ini, dengan lembut namun tegas, ia mendorong tubuhku sambil satu tangannya masih terus membelai pahaku, membuat kedua tanganku yang menahanku pada posisi duduk tak kuasa melawan dan aku pun terbaring pasrah menikmati belaiannya, sementara ia sendiri membaringkan tubuhnya miring di sisiku. Haris mengambil inisiatif mencium bibirku kembali, yang serta merta kubalas dengan hisapan bernapsu pada lidahnya. Mungkin saat itu gairahku semakin menggelegak akibat tangannya yang mulai beralih dari pahaku ke selangkanganku, meremas-remas vaginaku yang masih terbalut celana dalam itu dengan lembut namun perkasa.

“Mmhhh… Harrissshhh..” desahku di sela-sela ciuman panas kami. Aku agak tidak rela saat tangan kekarnya meninggalkan selangkanganku, namun ia mulai menarik blousku hingga terlepas dari jepitan rokku, lalu ia loloskan dari kepalaku. Buah dada montok yang mengintip menggoda dari BH-ku tak disentuhnya, membuatku semakin penasaran. Ia kembali mencium bibirku, namun kali ini lidahnya mulai berpindah-pindah ke telinga dan leherku, untuk kembali lagi ke bibir dan lidahku. Permainannya yang lembut dan tak tergesa-gesa ini membuatku sangat penasaran dan terpancing menjadi semakin bergairah, sampai akhirnya ia mulai memainkan tangannya meraba-raba dadaku dan sesekali menyelipkan jarinya ke balik BH menggesek-gesek putingku yang saat itu sudah tegak mengacung. Aku sendiri tidak tinggal diam dan mulai melepas kancing bajunya, dan setelah bajunya kulepaskan untuk menyingkap dada bidang dan kekar di depan mataku, ia pun memutuskan untuk mengalihkan godaan lidahnya ke buah dadaku.

Dihisap dan dijilatnya buah dadaku sementara tangannya merogoh ke balik punggungku untuk melepas kait BH-ku. Ia melempar BH-ku ke lantai sambil tidak buang waktu lagi mulai menjilati putingku yang memang sudah menginginkan ini dari tadi. “Ooohhh…” desahku langsung terlontar tak tertahankan begitu lidahnya yang basah dan kasar menggesek putingku yang terasa sangat peka. Terus Haris menjilati dan menghisap dada dan putingku di sela-sela desah dan rintihku yang sangat menikmati gelombang rangsangan demi rangsangan yang semakin lama semakin menggelora ini, sementara tangannya mulai melepas celananya, sehingga kini ia benar-benar telanjang bulat.

Haris melepas putingku lalu bangkit berlutut mengangkangi betisku. Penisnya yang besar dan berotot mengacung dengan bangga. Ia melepas rokku dan membungkukkan badannya menjilati pahaku. Kembali lidahnya yang basah dan kasar menghantarkan setruman birahi hebat yang merebak ke seluruh tubuhku pada setiap sentuhannya di pahaku. Apalagi bila lidahnya menggoda selangkanganku dengan jilatannya yang sesekali melibas pinggiran vaginaku, semili lagi untuk menyentuh bibir vaginaku. Yang bisa kulakukan hanya mendesah dan merintih pasrah melawan gejolak birahi penasaranku yang menginginkan lebih.

Akhirnya, dengan menyibakkan celana dalamku, Haris mengalihkan jilatannya ke bibir vaginaku yang telah begitu basah penuh lendir birahi. “Gggaaahhh.. Harrrissshh.. ohhh..” rintihanku langsung menyertai ledakan kenikmatan yang kurasakan saat lidah Haris melalap vaginaku dari bawah sampai ke atas, menyentuh klitorisku.

“Ohhh.. ohhh.. ngh.. ngh.. ngh.. ohhh..” Aku memajumundurkan pantatku seirama dengan jilatannya pada vaginaku, sementara tanganku mengacak-acak dan menjambak-jambak rambutnya. Lendir gairah mengalir dari vaginaku, diterima oleh lidah dan mulut Haris yang tak henti menjilat dan menghisap vaginaku. Kenikmatan merebak perlahan, berpangkal dari vaginaku ke seluruh tubuhku, membuat pandanganku gelap dan kepalaku terasa melayang. Aku tahu aku hampir mencapai klimaks, padahal masih menginginkan lebih. Mungkin mengetahui itu juga, Haris melepas lidahnya dari vaginaku, dan melepas celana dalamku yang sudah basah kuyup tak karuan. Kini kami sama-sama telanjang bulat. Tubuh kekar Haris berlutut di depanku. Vaginaku panas, basah dan berdenyut-denyut.

Haris membuka kakiku hingga mengangkang semakin lebar, lalu menurunkan pantatnya dan menuntun penisnya ke bibir vaginaku. “Hngk!” kerongkonganku tercekat saat kepala penis Haris menembus vaginaku. Walau telah basah berlendir, tak urung penis Haris yang demikian kekar berotot begitu seret memasuki liang vaginaku yang belum pernah dilewati bayi ini, membuatku menggigit bibir menahan kenikmatan hebat bercampur sedikit rasa sakit. Tanpa terburu-buru, Haris kembali menjilati dan menghisap putingku yang masih mengacung dengan lembut, kadang menggodaku dengan menggesekkan giginya pada putingku, tak sampai menggigitnya, lalu kembali menjilati dan menghisap putingku, membuatku tersihir oleh kenikmatan tiada tara, sementara setengah penisnya bergerak perlahan dan lembut dalam vaginaku. Ia menggerak-gerakkan pantatnya maju mundur dengan perlahan, memancing gairahku semakin bergelora dan lendir birahi semakin banyak meleleh di vaginaku, melicinkan jalan masuk penis berotot ini ke dalam liang kenikmatanku. Lidahnya yang kasar dan basah berpindah-pindah dari satu puting ke puting yang lain, membuat kepalaku terasa semakin melayang didera kenikmatan gairah.

Akhirnya seluruh penis Haris tertelan oleh vaginaku, memberiku kenikmatan hebat, seakan vaginaku dipaksa meregang, mencengkeram otot besar dan keras ini. Melepas putingku, Haris mulai memaju-mundurkan pantatnya perlahan, sementara aku pun mulai membalas dengan gerakan pantat yang maju-mundur dan kadang berputar menyelaraskan gerakan pantatnya, sementara napas kami semakin tersengal-sengal diselingi desah penuh kenikmatan.

“Hhhh.. hhh.. hhh.. Devvvv.. ohhh ..nikmmattthh sahyangghh..”
“Ohhh.. Harrizzz.. hhh.. hhhh.. hhh.. hhhh.. mmm..”

Terus kami saling memberi kenikmatan, sementara lidah Haris kembali menari di putingku yang memang gatal memohon jilatan lidah kasarnya. Aku sendiri hanya bisa menikmati semua itu sambil meremas-remas rambutnya. Rasa kesemutan berdesir dan setruman nikmat yang sempat terhenti kembali merebak perlahan berpusat dari vagina dan putingku, ke seluruh tubuhku hingga ujung jariku. Kenikmatan menggelegak ini merayap begitu perlahan sehingga terasa seakan berjam-jam, walau sebenarnya hanya sekitar 20 menit. Penis Haris semakin cepat dan kasar menggenjot vaginaku dan menggesek-gesek dinding vaginaku yang mencengkeram erat. Hisapan dan jilatannya pada putingku pun semakin cepat dan bernapsu. Aku begitu menikmatinya sampai akhirnya seluruh tubuhku terasa penuh setruman birahi yang intensitasnya perlahan terus bertambah seakan tanpa henti hingga akhirnya seluruh tubuhku terpaksa bergelinjang tanpa bisa kukendalikan saat kenikmatan gairah ini meledak dalam seluruh tubuhku.

“Ngghhh.. nghhh.. nghhhhhh.. Harrrizzzhhhh.. Akkkk!!” pekikanku meledak menyertai gelinjang liar tubuhku dan ledakan kenikmatan klimaks dalam tubuhku, membuat Haris semakin mengendalikan gerakannya yang tadinya cepat dan kasar itu menjadi perlahan dan kembali lembut. Ledakan kenikmatan orgasmeku yang terasa seperti berpuluh-puluh menit itu menyemburkan lendir orgasme dalam vaginaku, sementara Haris dengan menggoda terus menggerakkan penisnya secara sangat perlahan, di mana setiap mili penis Haris menggesek dinding vaginaku, suatu kenikmatan orgasme meledak dalam tubuhku.

Beberapa detik kenikmatan yang terasa seperti puluhan menit itu akhirnya berakhir dengan tubuhku yang terkulai lemas dengan penis Haris masih di dalam vaginaku yang berdenyut-denyut di luar kendaliku. Tanpa tergesa-gesa, Haris mengecup bibir, pipi dan leherku dengan lembut dan mesra, sementara kedua lengan kekarnya memeluk tubuh lemasku dengan erat, membuatku benar-benar merasa aman, terlindung dan sangat disayangi. Ia sama sekali tidak menggerakkan penisnya yang masih besar dan keras di dalam vaginaku. Ia memberiku kesempatan untuk mengatur napasku yang terengah-engah.

Setelah aku kembali “sadar” dari ledakan kenikmatan klimaks yang memabukkan tadi, aku pun mulai membalas ciuman Haris, memancing Haris untuk kembali memainkan lidahnya pada lidahku dan menghisap bibir dan lidahku semakin liar. Gairah Haris yang sempat tertahan tampak semakin terpancing dan ia mulai kembali menggerak-gerakkan pantatnya perlahan-lahan, menggesekkan penisnya pada dinding vaginaku. Respon gerakan pantatku membuatnya semakin liar dan berani melayani gairahnya yang memang tampak sudah mendekati puncak. Genjotan penisnya pada vaginaku semakin cepat, kasar dan liar. Walau sudah tak menikmati rangsangan lagi, hanya menikmati kebersamaan, aku tak merasa disakiti oleh genjotan penis Haris yang semakin bernapsu, semakin cepat, semakin kasar, hingga akhirnya ledakan lendir kental panas muncrat bertubi-tubi di dalam vaginaku.

“Hngk.. ngggghhh.. Devvv..” Haris melenguh menyertai ejakulasi puncaknya yang kubuat semakin nikmat dengan menekan pantatku maju, menancapkan penisnya sedalam-dalamnya di dalam vaginaku, sambil kupeluk tubuhnya erat. Setelah mengejang beberapa detik, tubuh Haris melemas dan ambruk menindih tubuhku. Berat memang, namun Haris menyadari itu dan segera menggulingkan dirinya, rebah di sisiku. Dua tubuh telanjang bermandikan keringat terbaring berdampingan di ranjang, tersungging senyum penuh kepuasan pada bibir kami berdua. Haris memeluk tubuhku dan mengecup pipiku, membuatku merasa semakin nyaman dan puas.

Sekembali Haris ke kantor, aku termenung sendirian di ranjang. Suatu kenyataan yang tadi sama sekali tak terpikir olehku mulai merebak dalam kesadaranku. Aku telah menikmati perbuatan nista dan telah mengkhianati suamiku. Aku mulai merasa berdosa, sementara di lain pihak, aku sangat menikmatinya dan sangat ingin melakukannya lagi.

Hati dan akal sehat terpecah dan menyeretku ke dua arah yang berlawanan. Pergumulan batin terjadi membuatku limbung dalam hidup. Akhirnya kuputuskan untuk menjauhi Haris dan kuminta dia untuk menjauhiku. Kulimpahkan tugasku pada seorang bawahanku, sehingga aku tak perlu terlalu sering bertemu dengan Haris lagi. Setelah beberapa minggu dalam kondisi seperti ini, Haris berhenti bertugas di kantorku. Entah itu keinginannya sendiri atau memang ia dialihtugaskan, aku tidak tahu. Namun hingga kini, pergumulan batin dalam diriku masih terus berlangsung. Aku masih merindukan dan menginginkan sentuhan tangan kekar Haris, sementara di lain pihak aku tetap mencintai dan ingin setia pada suamiku yang begitu baik hati, namun tak bisa memberikan yang telah diberikan Haris padaku.

Lihat Ini Uga Bleh:

Sepupu Manja Minta Dipuaskan - Kisah Seksualita


Cerita ini terjadi pada tahun 1997. Ini merupakan ceritaku asli/nyata. Pada saat aku masih kuliah di semester 2, ibuku sakit dan dirawat di kota S. Oh, iya aku tinggal di kota L. Cukup jauh sih dari kota S. Karena ibuku sakit, sehingga tidak ada yang masak dan menunggu dagangan. Soalnya adik-adikku semua masih sekolah. Akhirnya aku usul kepada ibuku kalau sepupuku yang ada di kota lain menginap di sini (di rumahku). Dan ide itu pun disetujui. Maka datanglah sepupuku tadi.
Sepupuku (selanjutnya aku panggil Anita) orangnya sih tidak terlalu cantik, tingginya sekitar 160 cm, dadanya masih kecil (tidak nampak montok seperti sekarang). Tetapi dia itu akrab sekali dengan aku. Aku dianggapnya seperti kakak sendiri.
Nah kejadiannya itu waktu aku lagi liburan semester. Waktu liburan itu aku banyak menghabiskan waktu untuk menunggu dagangan ibuku. Otomatis dong aku banyak menghabiskan waktu dengan Anita. Mula-mulanya sih biasa-biasa saja, layaknya hubungan kami sebagai sepupu. Suatu malam, kami (aku, Anita, dan adik-adikku) sudah ingin tidur. Adikku masing-masing tidur di kamarnya masing-masing. Sedang aku yang suka menonton TV, memilih tidur di depan TV. Nah, ketika sedang menonton TV, datang Anita dan nonton bersamaku, rupanya Anita belum tidur juga.
Sambil nonton, kami berdua bercerita mengenai segala hal yang bisa kami ceritakan, tentang diri kami masing-masing dan teman-teman kami. Nah, ketika kami sedang nonton TV, dimana film di TV ada adegan ciuman antara laki-laki dan perempuan (sorry udah lupa tuh judul filmnya).
Eh, Anita itu merespon dan bicara padaku, “Wah temenku sih biasa begituan (ciuman).”
Terus aku jawab, “Eh.. kok tau..?”
Rupanya teman Anita yang pacaran itu suka cerita ke Anita kalau dia waktu pacaran pernah ciuman bahkan sampai ‘anu’ teman Anita itu sering dimasuki jari pacarnya. Tidak tanggung-tanggung, bahkan sampai dua jarinya masuk.
Setelah kukomentari lebih lanjut, aku menebak bahwa Anita nih ingin juga kali. Terus aku bertanya padanya, “Eh, kamu mau juga nggak..?”
Tanpa kuduga, ternyata dia mau. Wah kebetulan nih.
Dia bahkan bertanya, “Sakit nggak sih..?”
Ya kujawab saja, “Ya nggak tau lah, wong belum pernah… Gimana.., mau nggak..?”
Anita berkata, “Iya deh, tapi pelan-pelan ya..? Kata temenku kalo jarinya masuk dengan kasar, ‘anunya’ jadi sakit.”
“Iya deh..!” jawabku.
Kami berdua masih terus menonton film di TV. Waktu itu kami tiduran di lantai. Kudekati dia dan langsung tanganku menuju selangkangannya (to the point bok..!). Kuselusupkan tangan kananku ke dalam CD-nya dan kuelus-elus dengan lembutnya. Anita tidak menolak, bahkan dengan sengaja merebahkan tubuhnya, dan kakinya agak diselonjorkan. Saat merabanya, aku seperti memegang pembalut, dan setelah kutanyakan ternyata memang sejak 5 hari lalu dia sedang menstruasi.
Aku tidak mencoba membuka pakaian maupun CD-nya, maklumlah takut kalau ketahuan sama adik-adikku. Dengan CD masih melekat di tubuhnya, kuraba daerah di atas kemaluannya. Kurasakan bulu kemaluannya masih lembut, tapi sudah agak banyak seperti bulu-bulu yang ada di tanganku. Kuraba terus dengan lembut, tapi belum sampai menyentuh ‘anunya’, dan terdengar suara desisan walau tidak keras. Kemudian kurasakan sekarang dia berusaha mengangkat pantatnya agar jari-jariku segera menyentuh kemaluannya. Segera kupenuhi keinginannya itu.
Waktu pertama kusentuh kemaluannya, dia terjengat dan mendesis. Kugosok-gosok bibir kewanitaannya sekitar 5 menit, dan akhirnya kumasukkan jari tengahku ke liang senggamanya.
“Auw..,” begitu reaksinya setelah jariku masuk setengahnya dan tangannya memegangi tanganku.
Setelah itu dengan pelan kukeluarkan jariku, “Eeesshh…” desisnya.
Lalu kutanya, “Gimana..? Sakit..?”
Dia menggeleng dan tanpa kusadari tangannya kini memegang telapak tangan kananku (yang berada di dalam CD-nya), seakan memberi komando kepadaku untuk meneruskan kerjaku.
Sambil terus kukeluar-masukkan jariku, Anita juga tampak meram serta mendesis-desis keenakan. Sementara terasa di dalam CD-ku, batang kemaluanku juga bangun, tapi aku belum berani untuk meminta Anita memegang rudalku (padahal aku sudah ingin sekali). Sekitar 10 menit peristiwa itu terjadi. Kulihat dia tambah keras desisannya dan kedua kakinya dirapatkan ke kaki kiriku. Sepertinya dia telah mengalami klimaks, dan kami akhirnya tidur di kamar masing-masing.
Hari berikutnya, aku dan Anita siap-siap membuka warung, adikku pada berangkat sekolah, sehingga hanya ada aku dan Anita di warung. Hari itu Anita jadi lebih berani padaku. Di dalam warungku sambil duduk dia berani memegang tanganku dan menuntunnya untuk memegang kemaluannya. Waktu itu dia memakai hem dan rok di atas lutut, hingga aku langsung bisa memegang selangkangannya yang terhalang CD dan pembalut. Kaget juga aku, soalnya ini kan lagi ada di warung.
“Nggak pa-pa Mas.., khan lagi sepi.” katanya dengan enteng seakan mengerti yang kupikirkan.
“Lha kalo ada pembeli gimana nanti..?” tanyaku.
“Ya udahan dulu, baru setelah pembelinya balik, kita lanjutin lagi, ok..?” jawabnya.
Dengan terpaksa kuraba-raba selangkangannya. Hal tersebut kulakukan sambil mengawasi di luar warung kalau-kalau nanti ada pembeli datang. Sementara aku mengelus selangkangannya, Anita mencengkeram pahaku sambil bibirnya digigit pelan tanda menikmati balaianku. Peristiwa itu kuakui sangat membuatku terangsang sekali, sehingga celana pendekku langsung terlihat menonjol yang bertanda batang kejantananku ingin berontak.
“Lho Mas, anunya Mas kok ngaceng..?” katanya.
Ternyata dia melihatku, kujawab, “Iya ini sih tandanya aku masih normal…”
Aku terus melanjutkan pekerjaanku. Tanpa kusadari dia pun mengelus-elus celanaku, tepat di bagian batang kemaluanku. Kadang dia juga menggenggam kemaluanku sehingga aku juga merasa keenakan. Baru mau kumasukkan tanganku ke CD-nya, tiba-tiba aku melihat di kejauhan ada anak yang sepertinya mau membeli sesuatu di warungku.
Kubisiki dia, “Heh ada orang tuh..! Stop dulu ya..?”
Aku menghentikan elusanku, dia berdiri dan berjalan ke depan warung. Benar saja, untung kami segera menghentikan kegiatan kami, kalo tidak, wah bisa berabe nanti. Sehabis melayani anak itu, dia balik lagi duduk di sebelahku dan kami memulai lagi kegiatan kami yang terhenti. Seharian kami melakukannya, tapi aku tidak membuka CD-nya, karena terlalu beresiko. Jadi kami seharian hanya saling mengelus di bagian luar saja.
Malam harinya kami melakukan lagi. Aku sendirian nonton TV, sementara adikku semua sudah tidur. Tiba-tiba dia mendatangiku dan ikut tiduran di lantai, di dekatku sambil nonton TV. Kemudian tiba-tiba dia memegang tanganku dan dituntun ke selangkangannya. Aku yang langsung diperlakukan demikian merasa mengerti dan langsung aku masuk ke dalam CD-nya, dan langsung memasukkan jariku ke kemaluannya. Sedangkan dia juga langsung memegang batang kejantananku.
“Aku copot ya CD kamu, biar lebih enakan.” kataku.
Dia mengangguk dan aku langsung mencopot CD-nya. Saat itu dia memakai rok mininya yang tadi, sehingga dengan mudah aku mencopotnya dan langsung tanganku mengorek-ngorek lembah kewanitaannya dengan jari telunjukku. Aku juga menyuruh mengeluarkan batang kejantananku dari CD-ku, sehingga dia kini bisa melihat rudalku dengan jelas, dan dia kusuruh untuk menggenggamnya. Kukorek-korek kemaluannya, kukeluar-masukkan jariku, tampaknya dia sangat menikmatinya. Kulihat batang kemaluanku hanya digenggamnya saja, maka kusuruh dia untuk mengocoknya pelan-pelan, namun karena dia tidak melumasi dulu batangku, maka kemaluanku jadi agak sakit, tapi enak juga sih.
“Eehhsstt… eehhsstt… Ouw.., eehhsstt… eehhsstt… eehhsstt…” begitu erangannya saat kukeluar-masukkan jariku.
Kumasukkan jariku lebih dalam lagi ke liang kewanitaannya dan dia mendesis lebih keras, aku suruh dia agar jangan keras-keras, takut nanti adikku terbangun.
“Kocokkannya lebih pelan dong..!” kataku yang merasa kocokkannya terhenti.
Kupercepat gerakan jariku di dalam liangnya, kurasakan dia mengimbanginya dengan menggerakkan pantatnya ke depan dan ke belakang, seakan dia lagi menggauli jariku.
Dan akhirnya, “Oh.., oohh.. oohh.. ohh…” rupanya dia mencapai klimaksnya yang pertama, sambil kakinya mengapit dengan keras kaki kananku.
Kucabut jariku dari kemaluannya, kulihat masih ada noda merah di jariku. Karena aku belum puas, aku langsung pergi ke kamar mandi dan kutuntun Anita. Di kamar mandi aku minta dia untuk mengocok batang kejantananku dengan tangannya. Dia mau. Aku lepaskan celanaku, setelah itu CD-ku dan batang kejantananku langsung berdiri tegap. Kusuruh dia mengambil sabun dan melumuri tangannya dengan sabun itu, lalu kusuruh untuk segera mengocoknya. Karena belum terbiasa, sering tangannya keluar dari batangku, terus kusuruh agar tangannya waktu mengocok itu jangan sampai lepas dari batangku. Setelah 5 menit, akhirnya aku klimaks juga, dan kusuruh menghentikan kocokannya.
Seperti pagi hari sebelumnya, kami mengulangi perbuatan itu lagi. Tidak ada yang dapat kuceritakan kejadian pagi itu karena hampir sama dengan yang terjadi di pagi hari sebelumnya. Tapi pada malam harinya, seperti biasa, aku sendirian nonton TV. Anita datang, sambil tiduran dia nonton TV. Tapi aku yakin tujuannya bukan untuk nonton, dia sepertia ketagihan dengan perlakuanku padanya. Dia langsung menuntun tanganku ke selangkangannya. Aku bisa menyentuh kewanitaannya, tapi ada yang lain. Kini dia tidak memakai pembalut lagi.
“Eh, kamu udah selesai mens-nya..?” tanyaku.
“Iya, tadi sore khan aku udah kramas, masa nggak tau..?” katanya.
Aku memang tidak tahu. Karena memang aku kurang peduli dengan hal-hal seperti itu. Aku jadi membayangkan yang jorok, wah batang kejantananku bisa masuk nich. Kuraba-raba CD-nya. Tepat di lubang kemaluannya, aku agak menusukkan jariku, dan dia tampak mendesis perlahan. Tangannya kini sudah membuka restleting celana pendekku, selanjutnya membukanya, dan CD-ku juga dilepaskankan ke bawah sebatas lutut. Digenggamnya batang kejantananku tanpa sungkan lagi (karena sudah sering kali ya..?). Aku juga membuka CD-nya, tapi karena dia masih memakai rok mini lagi, jadi tidak ketahuan kalau dia sekarang bugil di bagian bawahnya. Dia kini dalam keadaan mengangkang dengan kaki agak ditekuk. Kuraba bibir kemaluannya dan dengan agak keras, kumasukkan seluruh jari telunjukku ke lubang senggamanya.
“Uhh.. esshh.. eesshh.. esshh…” begitu desisnya waktu kukeluar-masukkan jariku ke lubang senggamanya.
Sementara dia kini juga berusaha mengocok batang keperkasaanku, tapi terasa masih sakit. Kukorek-korek lubang kemaluannya. Lalu timbul keinginanku untuk melihat kemaluannya dari dekat. Maklumlah, aku khan belum melihat langsung bentuk kemaluan wanita dari dekat. Paling-paling dari film xx yang pernah kutonton. Kuubah posisiku, kakiku kini kuletakkan di samping kepala Anita, sedangkan kepalaku berada di depan kemaluannya, sehingga aku dengan leluasa dapat melihat liang kewanitaannya. Dengan kedua tanganku, aku berusaha membuka bibir kemaluannya.
Tapi, “Auw.. diapaain Mas..? Eshh.. uuhh..” desisannya tambah mengeras.
“Sorry.., sakit ya..? Aku mo lihat bentuk anumu nih, wah bagus juga yach..!” sambil terus kukocokkan jariku.
Kulihat daging di lubangnya itu berwarna merah muda dan terlihat bergerak-gerak.
“Wah, jariku aja susah kalo masuk kesini, apalagi anuku yang kamu genggam itu ya..?” pancingku.
Dia diam saja tidak merespon, mungkin lagi menikmati kocokan jariku karena kulihat dia memaju-mundurkan pantatnya.
“Eh, sebenarnya yang enak ini mananya sich..?” tanyaku.
Tangan kirinya menunjuk sepotong daging kecil di atas lubang kemaluannya.
“Ini nich.., kalo Mas kocokkan jarinya pas menyentuh ini rasanya kok gatel-gatel tapi enak gitu.”
“Mana.., mana.., oh ini ya..?” kugosok daging itu (yang kemudian kuketahui bernama klitoris) dan dia makin kuat menggenggam batang kemaluanku.
“Ahh. auu.. enakk Maass… eehh… aahh.. truuss Mass, terusiinn.. ohh..!”
Tangannya setengah tenaga ingin menahan tanganku, tapi setengahnya lagi ingin membiarkan aku terus menggosok benda itu.
Dan akhirnya, “Uhh.. uhh.. uuhh.. ahh.. aahh..” dia mencapai klimaks.
Aku terus menggosoknya, dan tubuhnya terus menggelinjang seperti cacing kepanasan.
Lalu kubertanya, “Eh, gimana kalo anuku coba masuk ke sini…? Boleh nggak..? Pasti lebih enakan..!”
Dia hanya mengangguk pelan dan aku segera merubah posisiku menjadi tidur miring sejajar dengan dia. Kugerakkan batang kejantananku menuju ke lubang kemaluannya. Kucoba memasukkan, tapi rasanya tidak bisa masuk. Kurubah posisiku sehingga dia kini berada di bawahku. Kucoba masukkan lagi batangku ke lubangnya. Terasa kepala anuku saja yang masuk, dia sudah mendesis-desis.
Kudorong lebih dalam lagi, tangannya berusaha menghentikan gerakanku dengan memegang batangku. Namun rasanya nafsu lebih mendominasi daripada nalarku, sehingga aku tidak mempedulikan erangannya lagi.
Kutekan lagi dan, “Auuwww.. ehhssaakkiitt..!”
Aku berhasil memasukkan batang anuku walau tidak seluruhnya. Aku diam sejenak dan bernapas. Terasa anunya memeras batangku dengan keras.
“Gimana, sakit ya.., mo diterusin nggak..?” tanyaku padanya sambil tanganku memegang pantatnya.
Dia tidak menjawab, hanya terdengar desah nafasnya. Kugerakkan lagi untuk masuk lebih dalam. Mulutnya membuka lebar seperti orang menjerit, tapi tanpa suara.
Karena dia tetap diam, maka kulanjutkan dengan mengeluarkan batangku. Dan lagi-lagi dia seperti menjerit tapi tanpa suara. Saat kukeluarkan, kulihat ada noda darah di batangku. Aku jadi kaget, “Wah aku memperawaninya nih.”
“Gimana.., sakit nggak.., kalo nggak lanjut ya..?” tanyaku.
“Uhh.. tadi sakiitt sich… uhh. geelii..” begitu katanya waktu anuku kugesek-gesekkan.
Setelah itu kumajukan lagi batang kejantananku, Anita tampak menutup matanya sambil berusaha menikmatinya. Baru kali ini batangku masuk ke liangnya wanita, wah rasanya sungguh nikmat. Aku belum mengerti, kenapa kok di film-film yang kulihat, batang kejantanan si pria begitu mudahnya keluar masuk ke liang senggama wanita, tapi aku disini kok sulit sekali untuk menggerakkan batang kejantananku di liang keperawanannya. Namun setelah beberapa menit hal itu berlangsung, sepertinya anuku sudah lancar keluar masuk di anunya, maka agak kupercepat gerakan maju-mundurku di liangnya. Kurubah posisiku hingga kini dia berada di bawahku. Sambil masih kugerakkan batangku, tanganku berusaha mencapai buah dadanya. Kuremas-remas buah dadanya yang masih kecil itu bergantian, lalu kukecup puting buah dadanya dengan mulutku.
Dia semakin bergelinjang sambil mendesis agak keras. Akhirnya setelah berjalan kurang lebih 10 menitan, kaki Anita berada di pantatku dan menekan dengan keras pantatku. Kurasa dia sudah orgasme, karena cengkeraman bibir kemaluannya terhadap anuku bertambah kuat juga. Dan karena aku tidak tahan dengan cengkeraman bibir kemaluannya, akhirnya, “Crot.. crot.. crot..” air maniku tumpah di vaginanya. Serasa aku puas dan juga letih. Kami berdua bersimbah keringat. Lalu segera kutuntun dia menuju kamar mandi dan kusuruh dia untuk membersihkan liang kewanitaannya, sedangkan aku mencuci senjataku. Setelah itu kami kembali ke tempat semula.
Kulihat tidak ada noda darah di karpet tempat kami melakukan kejadian itu. Dan untung adik-adikku tidak bangun, sebab menurutku desisan dan suara dia agak keras. Lalu kumatikan TV-nya, dan kami berdua tidur di kamar masing-masing.
Sebelum tidur aku sempat berfikir, “Wah, aku telah memperawani sepupuku sendiri nich..!”
Sewaktu aku sudah kuliah lagi (dua hari setelah kejadian itu), dia masih suka menelponku dan bercerita bahwa kejadian malam itu sangat diingatnya dan dia ingin mengulanginya lagi. Aku jadi berpikir, wah gawat kalo gini. Aku jadi ingat bahwa waktu itu aku keluarkan maniku di dalam liang keperawanannya.
“Wah, bisa hamil nich anak..!” pikirku.
Hari-hariku jadi tidak tenang, karena kalau ketahuan dia hamil dan yang menghamili itu aku, bisa mampus aku. Setelah sebulan lewat, kutelpon dia di rumahnya. Setelah kutanya, ternyata dia dapat mens-nya lagi dua hari yang lalu. Lega aku dan sekarang hari-hariku jadi balik ke semula.

Begitulah ceritaku saat menggauli sepupu sendiri, tapi dasar memang sepupuku yang agak ‘horny’. Tapi sampai saat ini kami tidak pernah melakukan perbuatan itu lagi.

Lihat Ini Uga Bleh: